Mohon tunggu...
arie setiawan
arie setiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelance writer

Menjadi new be untuk tetap bisa to be

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelar Sarjana Pendidikan yang Tidak Lagi Istimewa

18 Maret 2018   10:33 Diperbarui: 18 Maret 2018   17:47 3929
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: blog-guru.web.id)

Menyampaikan materi hanya sebatas transfer ilmu dari buku kepada siswa. Atau tentang dari apa yang telah mereka dapatkan selama sekolah dan selanjutnya ditransferkan lagi ke peserta didiknya, semua orang bisa tentunya. Lalu bagaimana seorang pendidik mampu memahami karakteristik peserta didiknya? Bagaimana seorang guru mampu memberikan solusi atas permasalahan siswanya dalam mengikuti kegiatan pembelajaran yang diampunya.

Mengajar tidak hanya sebatas berbicara kepada para audience layaknya berpidato dengan naskah yang telah tersusun rapi. Mengajar memerlukan metode dan model yang cocok untuk setiap mata pelajaran dan perlu adanya adaptasi dari model dan metode pembelajaran untuk mengakomodasi siswa agar kegiatan pembelajaran dapat terlaksana dan tercapai tujuanya.

Jika guru merupakan sebuah profesi, maka haruslah profesi tadi diisi oleh seorang yang benar-benar berkompeten dibidangnya. Seorang lulusan yang berasal dari rumpun pendidikan, bukan rumpun ilmu murni. Sebagai komparasinya adalah seorang dokter. Jika dokter merupakan profesi, yang mewajibkan setiap individu yang disebut dokter adalah lulusan dari sekolah kedokteran begitupun guru, seharusnya dan memang harus dari rumpun kependidikan. Secara keilmuan lulusan ilmu murni memang lebih menguasai salah satu disiplin ilmu yang menjadi konsentrasinya. Tetapi tidak memiliki kemampuan pedagogik yang menjadi ruh seorang guru.

Kebijakan yang menurut saya tidak bijak dan sedang diterapkan oleh pemerintah saat ini adalah tentang sertifikat bagi lulusan keguruan yang kini tidak lagi menerima sertifikat itu. Akta mengajar, adalah sebuah sertifikat profesional yang memberikan keistimeaan kepada lulusan rumpun kependidikan untuk dapat menjadi guru. Dan kini tidak lagi dikeluarkan oleh universitas pendidikan di seluruh indonesia.

Sebagai ganti dari sertifikat profesional itu adalah setiap lulusan yang ingin menjadi guru harus mengikuti PPG (profesi pendidikan guru). Sebuah kebijakan yang bagus ketika PPG diperuntukan hanya untuk lulusan kependidikan. Tetapi ironisnya PPG merupakan program yang dapat diikuti oleh semua jenis lulusan, termasuk rumpun ilmu murni.

Kekhawatiran saya akan ‘jiwa/ruh pendidik’ yang dimiliki oleh lulusan ilmu murni tidak dapat muncul hanya dari program PPG yang diikuti. Seperti yang telah saya jabarkan di atas, terdapat perbedaan yang signifikan mengenai pendidik dari lulusan ilmu murni dengan rumpun kependidikan, mulai dari mereka menempuh pendidikan saat kuliah.

Untuk mengikut program PPG, juga tidak dengan biaya yang murah. Sedangkan gaji bagi para guru mengabdi? yaaa tau lah berapa besarnya (kecuali SMA dengan syarat-syaratnya). Jika semua lulusan dapat mengikuti program PPG, di mana letak keistimewaan gelar S.Pd yang lulusannya jelas lebih siap dan lebih berkompeten dalam bidang keguruan.

Menilik saat ini, lembaga-lembaga non kependidikan (departemen, BUMN, lembaga swasta) memandang sebelah mata gelar S.Pd, sehingga sangat susah dan beberapa sudah menutup akses bagi para S.Pd untuk dapat mengais rejeki di instansi tersebut. Apakah semua lulusan S.Pd harus berwirausaha? Apakah harus menjadi marketing (yang notabenya mereka tidak mendapatkan mata kuliah pemasaran secara mendetail)? Apakah harus menjadi pengamat pendidikan (sebenarnya lebih ke pengangguran yang harus iklas merelakan lahannya dikuasai oleh lulusan ilmu murni).

Saya masih teringat instruksi yang disampaikan oleh Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu. Bahwa seseorang sarjana haruslah bekerja sesuai dengan bidang keilmuan yang mereka dapatkan dari bangku kuliah. Jika PPG dibuka untuk umum, bukankan ini mencederai bagi mereka yang bergelar S.Pd.

Bukankah mereka juga anak bangsa yang berhak untuk mendapat penghidupan dan kehidupan yang layak dengan gelar (profesi) yang dimilikinya. Bukankan ini tidak etis memberikan lahan yang seharusnya menjadi milik para S.Pd kepada para lulusan ilmu murni? Yang sekali lagi rumpun ilmu murni memiliki kesempatan yang lebih luas untuk berkarier dan berkarya di berbagai instansi, tidak seperti mereka penyandang gelar S.Pd yang ironis nasibnya.

Lalu pendidikan macam apa yang hendak dicapai oleh pemerintah bangsa ini? Katanya pendidikan karakter, karakter siswa yang berkepribadian dan berakhlak mulia. Bagaimana karakter ini bisa ditanamkan jika permasalahan fundamental yang terletak didalam diri siswa tidak mendapatkan solusi dan potensi yang dimiliki tidak dapat dikembangkan dikarenakan pendidiknya tidak memiliki memampuan pedagogik memang tidak semua).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun