Mohon tunggu...
arie setiawan
arie setiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - freelance writer

Menjadi new be untuk tetap bisa to be

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Refleksi Pilkada DKI (Jangan Biarkan Perbedaan Jadi Perpecahan)

15 Mei 2017   15:43 Diperbarui: 15 Mei 2017   16:51 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemilukada DKI Jakarta telah usai diselenggarakan dengan Anis-Sandi yang keluar sebagai pemenang mengalahkan Ahok-Jarot. Pelaksanaan proses pemilu yang sangat-sangat aman, jauh dari tindak kriminalitas dan anarki. Isu-isu yang digembar gemborkan dimedia terkaita adanya pertentangan & perselisihan politik bahkan ketakutan akan adanya gerakan-gerakan separatisme tidak pernah terjadi. Kedewasaan masyarakat pada umumnya dalam berpolitik dan berdemokrasi sangatlah terasa. Kegaduhan-kegaduhan yang terjadi saya menilai bukanlah terlontar langsung dari masyarakat, namun ada pihak-pihak yang memanfaatkan situasi ini. Kini pemilukada telah usai, dan Anis-Sandi telah ditetapkan sebagi pemenang dalam kontes demokrasi di DKI Jakarta. Pihak Ahok-Jarotpun menerima dengan legowo dan memberikan dukungan kepada Anis-Sandi untuk meneruskan membangun DKI setelah mereka resmi menjabat. Sebuah proses politik yang cantik. Selanjutnya mari kita sedikit mereview tentang apa yang telah terjadi menjelang dan sampai berakhirnya pemilu DKI Jakarta.

Dimulai dari mana?

Berhubung saya berasal dari luar DKI jadi dimulai dari sini saja depan monitor atau layar gadget, tidak usah jauh-jauh ke TKP (ga ada duit untuk otw). hehe. Banyak isu-isu yang berkembang selama proses pemilu DKI, bahkan jauh sebelum proses pemilu dimulai. Maksutnya sebelum kempenye resmi paslon yang ditetapkan KPU. Isu-isu tersebut dimunculkan sebagai strategi maisng-masing paslon untuk "menyerang & menjatuhkan"paslon lain. Isu tersebut diangkat oleh paslon sendiri dan juga pihak pengusung paslon. Jika kita masih ingat ada isu tentang dukungan istana kepada salah satu paslon (paslon utusan istana). Ada juga ketegangan antar pimpinan partai pengusung paslon dengan pemerintah, dengan kemunculan mantan ketua KPK yang "bersuara" akan mengungkap kebenaran terkait kejahatan yang menimpa dirinya beberapa tahun yang lalu. Isu keterlibatan korupsi yang menerpa paslon berupa isu e-KTP dan isu pameran buku diluar negeri saat paslon masih aktif menjabat diposisinya masing-masing kala itu. Bahkan seolah-olah ada pengalihan wacana agar publik tidak terlalu berfokus pada pemilu DKI melalui isu-isu tadi, yang dikembangkan dan dikemas rapi untuk menggiring dan membentuk opini publik. Wajar bila masyarakat terbawa euforia pilkada DKI, melihat beberapa prestasi dan kegemilangan gubernur DKI (yang tidak lain adalah salah satu paslon) dalam memimpin Jakarta melalui kebijakan-kebijakanya.

Isu dalam setiap gelaran pemilu halitu kan biasa, lalu apa masalahnya?

Tidak ada masalah yang nyata ketika kita mampu menangkap dan memahami isu serta mengelolanya dengan bijak. Permasalahan itu muncul ketika kita belum siap dan belum mampu mengelola isu itu dengan kepala dingin (dikasih es aja kepalanya atau celupkan baskom berisi air es, gitu aja kok repot. haha, maaf bercanda). Dalam gelaran pilkada DKI, isu yang paling keras menerpa adalah isu SARA. Dimana masing-masing paslon menggunakan isu ini dan menjadi "korban" langsung jg tidak langsung dalam isu ini dengan substansi yang berbeda-beda. Adanya perlakuan rasisme yang diterima salah satu paslon yang sedang berlomba merebutkan kursi jabatan DKI menjadi bumbu manis untuk menebarkan kebencian-kebencian terhadap kaum ini. Perselisihan ideologi juga menerpa salah satu paslon, dimana ketakutan akan kemunculan paham wahabi yang direpresentasikan oleh salah satu parpol pengusungnya. Ditengah kemajemukan bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku budaya dan agama (kepercayaan), seyogyanya kita tidak perlu mempermasalahkan perbedaan tersebut. Selama masing-masing memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan & kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat tanpa adanya pihak-pihak yang berkepentigan atas negeri ini. Hingga berakirnya masa pemilu masih terdapat kelompok-kelompok yang merupakan simpatisan atau loyalis dari salah satu paslon yang masih aktif melakukan "aksi-aksinya", bahkan meluas hingga ke luar daerah. Mereka masih tetap  mendukung paslon yang menjadi korban (kalah) dalam pilkada DKI atas nama keadilan dan pluralisme yang dijamin di Indonesia. Saya sendiri sangat mendukung dan menghargai pluralisme yang ada di Indonesia. Tetapi terlepas dari siapa mendukung siapa ada hal yang menjadi ketakutan saya yang dimulai dari pergelaran pilkada DKI. Upaya membelah keutuhan NKRI dan upaya monopoli oleh sekelompok orang.

Isu agama dan ras adalah upaya memecah persatuan bangsa, mungkinkah?

Mungkin iya, salah satu upaya memecah persatuan dalam keberagaman bangsa adalah dengan sara. Setelah masyarakat terpecah-pecah, membela pihak ini, membenarkan paham itu, menyalahkan mereka, mengedepankan ego kelompok, dll. Kenapa harus dengan sara? Namanya juga penjajah, apapun akan dilakukan untuk mencapai tujuanya. haha. Hal yang paling mudah dan dapat mengena kepada setiap lapisan masyarakat jika keyakinan yang diusik. Menengok jauh kebelakang, dimana pilitik ini juga pernah digunakan sebelumnya oleh penjajah untuk menguasai Aceh kala itu. Dimana para pemimpin hanya sebagai simol atas kerajaan dan ulama merupakan panutan utama masyarakat Aceh. Singkat kata penjajah me;akukan observasi oleh mata-mata kedalam kehidupan masyarakt untuk mengetahui siapa yang paling berpengaruh didalam masyarakat Aceh, yang saat itu masih berupa kerajaan. Dalam observasinya ditemukan bahwa para ulama memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Aceh, dan untuk menaklukan Aceh maka harus "menaklukan" ulama. Dari sini penjajah mempelajari informasi tentang budaya masyarakat Aceh dan akhirnya menentukan sikap. Saya mencurigai akan adanya upaya-upaya untuk membentuk sebuah koloni golongan tertentu di negeri ini dengan tujuan yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Gelombang aksi yang terjadi akhir-akhir ini bisa dimaknai sebagai sebuah aksi damai dalam menjaga persatuan masyarakat juga bisa dimaknai sebagai aksi provokasi yang dimanfaatkan segelintir orang untuk menimbulkan pergolakan juga diluar daerah. Aksi pembelaan dari hati dalam upaya mencari keadilan bagi kaum minoritas kepada seorang yang tersandra dan menjadi "korban politik" kepentingan. 

Bagaimana bisa seorang "Ahok" bisa memicu pergolakan ?

Anggaplah Ahok sebagai bintang iklan shampo anti ketombe. Oleh perusahaan shampo itu diklaim sebagai shampo anti ketombe nomor 1 didunia. Lalu apakah yang ditawarkan adalah seorang Ahok sebagai bintang iklan atau shampo anti ketombe sebagi komoditi utama sekaligus tujuan perusahaan mendapatkan keuntungan? Tujuanya sudah pasti adalah peningkatan jumlah penjualan shampo bukan promosi keartisan Ahoknya. Analogikan saja kasus ini seperti iklan shampo (sedikit maksa) haha. Dalam pembetukan opini masyarakat, ada fakta ketidak adilan kepada kaum minoritas yang diputuskan dalam persidangan, dan itu bertentangan dengan sila kelima pancasila. Ada kekhawatiran dalam hati saya apabila ketidak adilan ini ikut dirasakan oleh masyarakat "minoritas" Indonesia yang menempati sebuah wilayah dan merupakan penduduk mayoritasnya. Hal ini menimbulkan kesan bahwa negara sudah tidak berpihak lagi kepada masyarakat minoritas ini, sehingga memicu mosi tidak percaya kepada negara. Tentu hal ini sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI. Dan kita semua tehu mana daerah-daerah yang mayoritas masyarakatnya merupakan kaum minoritas. 

Apakah salah membela seorang yang "teraniaya dan terdzolimi"?

Sebagai ungkapan rasa solideritas dan persaudaraan antar sesama manusia yang merupakan warga negara Indonesia. Tidak ada hal yang salah dalam upaya pembelaan itu, dan lagi dia merupakan seorang pemimpin yang jujur, bertanggung jawab dan memiliki kredibelitas sebagai pemimpin. Tetapi akan terasa sia-sia segala pengorbanan dan perjuangannya bila ada aksi-aksi yang berlebihan. Terlebih lagi menurut saya ini adalah aksi yang sangat sensitif, yang dapat memicu gesekan dalam masyarakat bawah yang tidak mampu memaknainya. Ahok sendiri sangat mematuhi dan menghormati hukum yang berlaku di Indonesia, dan menyerahkan semuanya kedalam sistem peradilan. Sebuah sikap yang sangat gantle. 

menurut saya, cukuplah aksi-aksi "bela Ahok" dan lain-lain itu. Jangan sampai niat baik kita dimanfaatkan oleh beberapa orang yang berkepentingan di negeri ini. Apalagi dalam kasus ini, tidak sedikit media asing yang meliputnya. Jangan sampai image Indonesia sebagai negara yang ramah dan menghargai bermacam perbedaan hilang dimata internasional. Jangan sampai ada cap indonesia sekarang tak jauh beda dengan yang sedang berkonflik (perang saudara), dicap sebagai negara islam. Mari kita kembali ke kehidupan normal, dimana perbedaan yang sering kita jumpai dalam kehidupan nyata kita adalah sebuah keindahan. Karena persatuan dalam perbedaan adalah ciri khas bangsa ini. Intinya adalah jangan sampai Divide at impera berkembang di indonesia.

Salam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun