Perencanaan sistem transportasi publik perkotaan bukanlah sesuatu yang sangat mudah karena perencanaannya perlu melihat perkembangan dari kota tersebut, semakin banyak penduduknya akan semakin berkurang ketersediaan lahan untuk dijadikan sebagai ruang ataupun koridor yang seharusnya dapat dijadikan sebagai perluasan lahan untuk sistem transportasi publik perkotaan.
Hasil sebuah studi mengungkap bahwa ketika sebuah kota telah dihuni oleh satu juta jiwa maka kepadatan akan bermula dari titik ini, sehingga angka satu juta merupakan batas atau threshold yang perlu mulai diwaspadai oleh para perencana perkotaan.
Pertumbuhan jumlah penduduk kota yang disebabkan oleh berbagai hal seperti tingkat kelahiran yang sangat tinggi dan urbanisasi dan lainnya akan menciptakan kepadatan yang perlu diantisipasi oleh para perencana kota pada semua bidang termasuk penentuan zonasi untuk perumahaan, bisnis, industri yang semua itu (semestinya) terkoneksi dengan baik, artinya masuk dalam sistem transportasi publik.
Kepadatan di sini juga tidak hanya merujuk dari jumlah penduduk tapi juga pada ketersediaan infrastruktur serta kendaraan transportasi publiknya, kepadatan pada masing masing dari keduanya akan membawa konsekuensi berbeda.
Jika antisipasi kepadatan penduduk tidak dibarengi dengan antisipasi penambahan infraktruktur dan kendaraan transportasi publik maka akan timbul kecenderungan dari para penduduknya memilih untuk memiliki kendaraan pribadi agar dapat memenuhi kebutuhan mobilisasinya.
Akibatnya jumlah kendaraan pribadi --baik roda dua dan empat -- akan meningkat drastis dan memadati jalan jalan di kota, dan ketika pemerintah tidak mengantisipasi kondisi ini dengan penambahan luas dan ruas untuk kendaraan kendaraan tersebut maupun penyediaan kendaraan umum maka kondisi semakin menjadi lebih parah hingga akhirnya mencapai titik maksimum (gridlock).
Namun sebaliknya jika pemerintah kota membangun infratruktur dan mengisi jalanan dengan kendaraan transportasi publik secara masif maka akan mengurangi lahan untuk ruang publik seperti taman dan tempat parkir karena sudah digunakan untuk perluasan jalan ataupun pembangunan infraktruktur transportasi lainnya seperti jembatan, halte dan lainnya.
Pengembangan dan penerapan sistem transportasi publik perkotaan dapat juga menghadapi hambatan ketika sebuah kota terbagi dalam beberapa kawasan administratif -- misalnya Jakarta dengan kotamadya nya -- dimana sinergitas di antara mereka kurang dan bahkan mungkin tidak ada.
Misalnya penentuan jaringan rute transportasi publik di seluruh wilayah Jakarta tidak dapat dilakukan karena ada beberapa titik di kotamadya lainnya sudah ditempati atau sudah direncanakan untuk zona selain dari zona transportasi.
Dari semua ini kita dapat melihat bahwa membangun sistem transportasi publik perkotaan sama sulitnya dengan membangun kota karena kota merupakan kawasan hunian, bisnis,industri dan lainnya dengan berbagai kegiatan dan aktivitas nya yang memerlukan sarana dan prasarana transportasi.
Perkembangan dan pertumbuhan sebuah kota juga perlu selalu diimbangi dengan berbagai langkah yang juga tidak mudah ketika lahan lahan perkotaan tidak lagi tersedia baik untuk infrastruktur transportasi di permukaan, di atas permukaan (elevated) maupun di bawah permukaan (underground).