Maskapai penerbangan adalah salah satu dari sekian banyak sektor yang terkena imbas pandemi, karena selama pandemi langit di seluruh bagian bumi hampir dikatakan kosong tanpa deruan mesin pesawat -- khususnya pesawat penumpang dan kargo berjadwal.
Alasannya adalah karena semua negara menutup pintu gerbang udaranya, keadaan ini berarti menghentikan aliran pendapatan maskapai, mereka pun berusaha bertahan dengan melakukan berbagai usaha agar tidak gulung tikar.
Restrukturisasi maskapai -- baik itu merger, akusisi, divestasi dan lainnya -- adalah salah satu langkah tersebut, akan tetapi tidak semua maskapai di dunia yang menghasilkan output yang sama dari restrukturisasi tersebut hingga ada beberapa maskapai yang gulung tikar.
Dengan berakhirnya pandemi dan dibukanya kembali pintu gerbang udara di semua negara, tidak semata mata dapat sepenuhnya mengembalikan kondisi maskapai sebelum pandemi walau dengan adanya revenge traveling dari para pelaku perjalanan dan wisata sekalipun.
Hal ini karena kondisi yang dihadapi oleh masing masing maskapai berbeda beda sehingga proses recovery yang mereka lakukan juga berbeda serta jangka waktu yang dibutuhkan.
Sebuah maskapai yang mungkin tidak mengembalikan satu pesawat pun ke pihak leasing belum tentu pula dapat dalam waktu singkat memulihkan semua rute dan frekuensi penerbangannya karena untuk mengembalikan operasional pesawat setelah sekian lama tidak dioperasikan tidaklah seperti mengembalikan kendaraaan roda empat kita dari garasi rumah.
Diperlukan beberapa langkah sebelum pesawat dinyatakan airworthy, ditambah lagi kesiapan kru kokpit yang setelah sekian lama tidak duduk di kokpit, semua ini memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Sebagai contohnya, maskapai Singapore Airlines yang selama pandemi menyimpan beberapa pesawatnya di boneyard Alice Spring Australia, baru tuntas mengembalikan pesawat terakhirnya pada bulan Februari 2024 atau dua tahun setelah pesawat tersebut diterbangkan ke Alice Spring pada tahun 2022.
Keadaan ini akan berbeda dengan maskapai lain yang justru mengembalikan beberapa pesawatnya, karena mereka kehilangan pendapatan dari rute dan frekuensi penerbangan yang sebelumnya dihasilkan dari utilisasi pesawat pesawat yang dikembalikan tersebut.
Selain itu, maskapai ini juga perlu mengeluarkan biaya dan membutuhkan waktu untuk mengembalikan pesawat pesawat mereka yang masih ada agar tetap dalam kondisi airworthy.