Aviasi dan pariwisata merupakan dua industri yang dapat mempercepat laju pertumbuhan sebuah daerah khususnya daerah yang memiliki potensi pariwisata yang besar.
Dengan mengatakan itu artinya bahwa para pelaku usaha di kedua industri tersebut saling mendukung dan bersinergi agar percepatan laju pertumbuhan tersebut dapat menjadi kenyataan.
Namun apa yang terjadi ketika salah satu pelaku usaha dari salah satu industri tersebut melakukan langkah yang justru kontradiktif, dengan kata lain berpotensi memperlambat pergerakan pelaku perjalanan dan wisata?
Beberapa waktu yang lalu diberitakan oleh Kompas.com bahwa pimpinan maskapai flag carrier kita menuntut kenaikkan Tarif Batas Atas (TBA) tiket pesawat, langkah ini tentunya sangat kontradiktif dengan harapan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kita yang sebelumnya berharap harga tiket pesawat dapat turun agar pergerakan pelaku perjalanan dan wisata dapat meningkat.
Salahkah langkah dari pimpinan maskapai flag carrier kita?
Maskapai penerbangan sebagai penyedia angkutan udara reguler dapat dikatakan sebagai trigger dari meningkatnya pergerakan para pelaku perjalanan dan wisata baik itu dari sisi jumlah maupun durasi mereka untuk melakukan perjalanan dan wisata.
Ilustrasi seperti ini, bila harga tiket dari Jakarta ke Bali Rp. 1,200,000 pp maka pelaku perjalanan dapat lebih lama berlibur di Bali dibandingkan jika harga tiketnya Rp. 1,800,000 pp, jika ada penghematan Rp. 600,000 per orang maka keluarga dengan dua orang anak akan memiliki dana lebih sebanyak Rp. 600,000 X 4 = Rp. 2,400,000.
Dengan uang ekstra ini maka dapat dialokasikan untuk penambahan waktu berlibur mereka ataupun menambah anggaran untuk pembelanjaan selama berlibur, penambahan uang ekstra tersebut merupakan potensi penambahan pendapatan bagi daerah atau destinasi wisata.
Akan tetapi jika beban biaya yang harus dikeluarkan oleh para pelaku perjalanan dan wisata meningkat karena harga tiket pesawat naik maka akan selalu ada kemungkinan beberapa dari mereka akan mengurungkan rencana perjalanan dan wisatanya atau juga mengalihkan tujuan perjalanan dan wisatanya.
Jika ini terjadi maka pendapatan daerah sebagai tujuan semula dari para pelaku perjalanan dan wisata tidak terjadi ataupun berkurang sebagai akibat pengalihan destinasi dari para pelaku perjalanan dan wisata tersebut.