Propinsi di kawasan Nusa Tenggara ini terdiri dari tiga pulau besar yaitu Sumba, sebagian pulau Timor dan terakhir pulau Flores, hal ini sudah tentu membawa tantangan tersendiri dalam hal konektivitas antar pulau besar tersebut.
Konektivitas udara adalah satu dari dua konektivitas yang hanya dapat dibangun selain dari konektivitas laut dengan penyediaan layanan penerbangan.
Dalam konteks konektivitas udara di dalam NTT maka penerbangan regional perlu tersedia agar dapat memenuhi kebutuhan mobilitas para penduduk di tiga pulau tersebut serta memperlancar distribusi barang kebutuhan masyarakat.
Penerbangan regional disini adalah di dalam kawasan propinsi NTT, namun karena dengan adanya tiga pulau utama yang terpisah tersebut maka penerbangan regional tersebut tidak hanya berupa penerbangan antar dua kota (city pair) tapi juga penerbangan antar pulau.
Pada penerbangan internasional, jika kita melihat letak geografis ketiga pulau di Nusa Tenggara Timur ini memang tidaklah semudah yang dibayangkan untuk agar dapat dilayani oleh maskapai maskapai di di dunia, mengapa demikian?
Letak geografis NTT dapat dikatakan cukup jauh jika kita membidik wisatawan dari Asia dan Eropa, sudah tentu ini akan memberikan pertimbangan tambahan kepada maskapai dari kedua kawasan tersebut sebelum mereka memutuskan memulai penerbangannya.
Mari kita melihatnya dari sisi maskapai, misalnya maskapai A berencana akan membuka rute baru  memiliki dua pilihan tujuan di Indonesia dari Singapore, kedua pilihan tersebut adalah Denpasar dan Labuhan Bajo.
Beberapa pertimbangan akan dilakukan oleh maskapai A dengan menggunakan metrics maskapai, namun mari kita melihatnya dari dua hal saja yaitu perkiraan volume permintaan dan durasi penerbangan.
Latarbelakangnya adalah karena dengan melihat perkiraan jumlah permintaan kursi, maskapai bisa memperhitungkan perkiraan pendapatan dari setiap penerbangan yang dilakukan, sedangkan untuk durasi waktu berhubungan dengan utilisasi dan ketersediaan pesawat mereka.
Pada rute SIN ke DPS, misalnya volume permintaan ada di 350 pax/hari berarti bila maskapai A menggunakan pesawat berbadan sedang dengan kapasitas 160 kursi maka maskapai A memiliki kesempatan untuk melakukan penerbangan dua kali dalam sehari. Pada rute SIN ke LBJ misalnya volume permintaan 200 pax/hari berarti maskapai A hanya bisa melakukan penerbangan sebanyak satu kali dalam sehari.
Sedangkan dari durasi penerbangan, rute SIN ke DPS adalah 2 jam 27 menit sedangkan SIN ke LBJ selama 2 jam 56 menit, jika dihitung pulang pergi maka maskapai A membutuhkan waktu 4 jam 54 menit ditambah turnaround time-nya 30 menit menjadi 5 jam 24 menit untuk SIN ke DPS sedangkan untuk SIN ke LBJ adalah 5 jam 52 menit ditambah turnaround time nya 30 menit menjadi 6 jam 22 menit.
Disini kita bisa melihat bahwa baik dari sisi volume kursi maupun durasi penerbangan, rute SIN ke DPS sepertinya yang akan dipilih oleh maskapai A, mengapa demikian ?
Volume permintaan kursi dari SIN ke DPS lebih banyak daripada SIN ke LBJ dan walaupun maskapai A hanya dapat melakukan penerbangan satu kali dalam sehari pun, maskapai A sepertinya tetap akan memilih rute SIN ke DPS karena durasi penerbangannya yang lebih sedikit. Ini berkaitan dengan utilisasi dan ketersediaan pesawat pada armada mereka.
Ilustrasinya seperti ini, maskapai A perlu menyediakan pesawat yang dalam utilisasi seharinya bisa melakukan penerbangan selama 4 jam 54 menit ke DPS pp atau ke LBJ selama 6 jam 22 menit, ada selisih sekitar 2 jam 32 menit waktu, jika maskapai A hanya memiliki waktu kurang dari 6 jam pada utilisasi setiap pesawatnya maka satu satu nya opsi adalah dengan memilih rute SIN ke DPS.
Kita juga perlu memperhitungkan turnaround time yang dibutuhkan maskapai A di bandara SIN pada penerbangan selanjutnya bila pesawatnya diterbangkan kembali setelah melayani rute ke DPS atau LBJ.
Jika pesawat mereka berangkat dari SIN jam 12.00 siang maka pesawat akan tiba kembali ke SIN pada jam 16.54 jika dari DPS dan 18.22 jika dari LBJ, bila maskapai A kemudian akan menerbangkan ke rute selanjutnya maka pesawat akan berangkat dari SIN jam 17.24 bila sebelumnya terbang dari DPS dan untuk yang sebelumnya terbang dari LBJ akan terbang kembali dari SIN jam 18.52.
Jika kita kemudian asumsikan rute selanjutnya berdurasi 4 jam pp ( ditambah 30 menit turnaround time) maka pesawat tersebut akan tiba kembali jam  21.54 yang sebelumnya dari DPS, sedangkan yang sebelumnya dari LBJ jam 23.22, dari sisi utilisasi pesawat serta kenyamanan pelaku perjalanan juga melihat jam operasional bandara SIN maka maskapai A sangat mungkin lebih memilih rute SIN ke DPS.
Ini semua bukan berarti kesempatan bandara bandara di NTT menjaring maskapai di dunia untuk melayani penerbangan semakin tertutup, melainkan hanya saja para pengelola bandara di NTT perlu mempertimbangkan lokasi mereka serta melihat dari sisi maskapai dan kemudian menentukan strategi jitu.
Sedangkan untuk kebutuhan hub sebagai pengumpul pelaku perjalanan, bandara LBJ adalah yang ideal melihat jarak tempuh dari berbagai kota di Asia dan Eropa untuk kemudian menghubungkan ke destinasi wisata di seluruh NTT, disini pertanyaan ada dua yaitu seberapa siap bandara LBJ sebagai bandara Internasional, domestik dan regional baik dari sisi kapasitas penumpang maupun trafik pesawat sedangkan pertanyaan kedua adalah seberapa siap armada maskapai yang beroperasi disana ?
Pertanyaan kedua ini karena kita menerapkan hukum cabotage dimana maskapai asing tidak diperbolehkan melayani penerbangan domestik sehingga batas penerbangannya hanya ada di bandara Internasional seperti bandara LBJ.
Jika minat maskapai asing melakukan penerbangan internasional lebih cenderung ke DPS daripada ke LBJ maka solusi tersisa adalah penerbangan campuran (mixed flights) via bandara terdekat misalnya DPS atau SUB dan UPG dan kemudian melanjutkan dengan penerbangan domestik ke LBJ.
Ini berarti dibutuhkan penambahan frekuensi penerbangan domestik ke LBJ oleh para maskapai kita yang bisa berarti pula penambahan pesawat pada armada mereka, serta juga penambahan kapasitas bandara keberangkatannya misalnya untuk rute DPS ke LBJ.
Apakah maskapai kita akan menambah pesawat pada armada mereka setelah pandemi atau juga apakah pihak regulator akan membuka kesempatan kepada maskapai baru ? juga apakah akan ada pergeseran fokus penerbangan oleh maskapai dari daerah dengan trafik yang padat ke NTT dalam arti maskapai masih perlu bersama sama industri pariwisata membangun trafik di NTT a.k.a membangun konektivitas udara di NTT.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah bandara keberangkatan seperti  DPS yang akan semakin padat nantinya dapat mengakomodasi peningkatan jumlah penumpang dan pesawat tersebut tanpa penambahan kapasitas bandara ataupun penambahan bandara?
Membangun konektivitas udara di NTT tidak saja membutuhkan penerbangan internasional, domestik dan regional saja tetapi juga pembangunan fasilitas pendukungnya seperti bandara dengan kapasitas penumpang dan pesawat yang mumpuni.
Jangan melupakan pula keberadaan bengkel pesawat bisa menjadi pertimbangan maskapai bila pesawat mereka mengalami kerusakaan agak berat, selain itu semakin jauh maskapai perlu mengantar suku cadang bagi pesawat mereka yang mengalami kerusakaan di sebuah bandara NTT semakin tinggi biaya yang mereka keluarkan, kecuali ada persediaan suku cadang dari bengkel pesawat terdekat seperti di DPS atau SUB dan UPG.
Dan yang terakhir adalah dari sisi pelaku perjalanan dimana saat ini memang pelaku perjalanan dari Singapore harus menempuh waktu sekutar 5-6 jam dengan mixed flights via DPS, sehingga waktu tempuh wisatawan juga perlu menjadi perhatian.
Salam Aviasi.
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H