Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengukur Kapasitas dari Destinasi Wisata

9 November 2023   20:30 Diperbarui: 14 November 2023   11:17 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulau Dewata, destinasi wisata populer di Bali.(Dok. Shutterstock/Puspa Mawarni168)

Ketika kita berbicara mengenai pariwisata maka ketika itu pula kita membicarakan destinasi wisata yang bisa berupa gurun, bukit, pantai, dan pulau serta lainnya.

Asal mula terbentuknya destinasi wisata adalah dari destinasi yang merupakan tujuan dari seseorang ketika hendak atau tengah melakukan perjalanan dan dengan membangun dan melengkapi dengan segala fasilitas dan atraksi yang dapat memenuhi kebutuhan para pelaku wisata maka saat itu pula sebuah destinasi menjadi destinasi wisata.

Layaknya sebuah kawasan, pembangunan sudah secara otomatis akan terjadi pula di destinasi wisata, namun apa yang terjadi ketika semua lahan sudah mendekati titik maksimumnya, apakah tidak akan ada lagi pembangunan fasilitas pendukung pariwisata? 

Juga apakah sebagai tuan rumah, kita sudah merasa letih hingga tidak lagi memikirkan pengembangan destinasi wisata tersebut dengan mengikuti perkembangan zaman?
**
Mari kita coba sejenak melihat destinasi wisata sebagai bandar udara di mana keduanya sama-sama berupa kawasan dengan berbagai fasilitas pendukungnya, sebuah bandar udara atau airport baru bisa disebut airport bila ada fasilitas pendukungnya seperti terminal penumpang, kargo dan lainnya, tanpa itu semua bukan bandar udara melainkan lapangan udara (aerodrome).

Seperti halnya bandar udara sebagai tempat pergerakan pesawat dan orang serta barang, destinasi wisata juga sebagai tempat pergerakan orang (wisatawan dan masyarakat lokal), keduanya juga sebuah kawasan yang memiliki daya tampung sesuai dengan luas areanya dan jika sudah pada titik maksimum maka segala pergerakan yang terjadi pun akan terpengaruh.

sumber gambar : pxhere.com
sumber gambar : pxhere.com

Keterlambatan penerbangan yang kerap terjadi bisa menjadi tanda-tanda telah terjadi kepadatan bandar udara atau airport congestion serta menjadi indikator bagi pengelola ataupun pemegang kebijakan untuk saatnya memikirkan solusi dari kepadatan tersebut agar semua kegiatan di bandar udara tetap lancar.

Solusi bisa berupa ekspansi namun memerlukan penambahan lahan di sekitar lahan bandar udara, bila sudah tidak ada lagi lahan maka solusi lainnya adalah mencari lahan baru dan membangun kawasan bandar udara yang baru pula.

Sedangkan pada destinasi wisata, kepadatan juga bisa terjadi yang disebabkan oleh jumlah wisatawan pada sebuah periode waktu yang sangat banyak, kondisi ini akan berpotensi mengganggu kehidupan sehari hari masyarakat lokal serta tingkat kenyamanan dan kelancaran bagi wisatawan dalam melakukan kegiatan liburnya.

Jika bandar udara memiliki ukuran daya tampung atau kapasitas maka destinasi memiliki apa yang dinamakan dengan Tourism Carrying Capacity (TCC) yang oleh World Tourism Organization didefinisikan sebagai "The maximum number of people that may visit a tourist destination at the same time, without causing destruction of the physical, economic, socio-cultural environment and an unacceptable decrease in the quality of visitors' satisfaction".

Terjemahan langsungnya adalah jumlah maksimum orang yang dapat berkunjung ke sebuah destinasi wisata tanpa menimbulkan gangguan pada fisik, ekonomi, sosio cultural, dan pengurangan kepuasan dari pengunjung.

Dari TCC kemudian kita bisa melihat dari setiap dampaknya yaitu fisik melalui physical carrying capacity, ekonomi melalui economic carrying capacity, dan kemudian dari socio cultural melalui social carrying capacity.

Physical carrying capacity adalah kapasitas atau daya tampung dari sebuah area, kita bisa mengambil contoh dari kapasitas sebuah area pantai atau pesisir misalnya.

Ukuran normalnya adalah 1 meter per orang, jika melebihi itu maka kita bisa melihat kerumunan orang dalam area tersebut, pemandangan penuh sesak lautan manusia dengan semakin terbatasnya ruang gerak mereka.

Ditambah dengan pembangunan dan peningkatan jumlah wisatawan tanpa penambahan luas area, maka dampak negatif dapat muncul terhadap kegiatan dan kehidupan masyarakat lokal.

Salah satu dampaknya adalah misalnya lebih banyak toko-toko yang mendukung kegiatan pariwisata dibandingkan toko toko kebutuhan masyarakat, dan karena semakin sedikitnya toko kebutuhan pokok masyarakat maka kenaikan barang kebutuhan tersebut pun bisa naik.

Inilah yang disebut dengan economic carrying capacity di mana pengertiannya adalah ketika pendapatan dari penjualan kebutuhan pariwisata menyebabkan inflasi pada harga barang barang kebutuhan pokok masyarakat lokal.

Kepadatan pengunjung dan kegiatan pariwisata juga membawa dampak lainnya yaitu meningkatnya kejahatan dan pelanggaran pelanggaran di mana hal ini akan mengurangi tingkat kenyamanan wisatawan terutama pada rasa aman mereka dalam melakukan kegiatan wisatanya.

Di sini kita sedang mengukur social carrying capacity dari sebuah destinasi wisata, contoh yang mungkin mudah adalah apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu di sebuah destinasi wisata kita yang notabene merupakan barometer kepariwisataan nasional.

Sebenarnya masih ada lagi tolak ukur yang dapat kita analisis dari sebuah destinasi namun keempat tolak ukur di atas adalah yang umum digunakan.

Sekarang pertanyaannya adalah apakah setiap destinasi menerapkan tolak ukur tersebut dengan dasar bahwa kuantitas masih dipandang lebih penting dan utama daripada kualitas, sedangkan kualitas sendiri masih diartikan dari sisi wisatawan bukan pada destinasi wisatanya.

Mungkin kita pernah mendengar pernyataan bahwa kita akan lebih membidik wisatawan berkualitas (baca: tingkat belanja yang banyak), juga mendengar pernyataan dari berbagai pihak mengenai telah terjadinya over tourism di sebuah destinasi wisata kita tapi di tanggapi dengan denial.

Pada saat yang sama, kepadatan bangunan juga semakin mempersempit ruang gerak orang baik wisatawan dan juga masyarakat lokal, serta kepadatan lalu lintas dengan jumlah kendaraan yang juga kian bertambah di lahan yang tidak semakin luas (statis vs dinamis).

Adakalanya pula fasilitas pendukung pariwisata tidak dilakukan perawatan dan pemeliharaan yang teratur dan berkala yang akan meningkatkan penurunan kualitas dari destinasi wisata.

Destinasi wisata dan bandara sama-sama menjadi tempat pergerakan orang di lahan yang cenderung tidak bertambah, hanya bedanya adalah jika pada bandara, orangnya hanya para pelaku perjalanan sedangkan pada destinasi wisata orangnya adalah pelaku liburan dan masyarakat lokal -- sudah tentu dampaknya akan lebih luas pada destinasi wisata.

Kita sebagai negara dengan destinasi yang potensial menjadi destinasi wisata, ada baiknya menerapkan tolak ukur ini serta mencoba untuk tidak mendefinisikan kualitas dari sisi wisatawan dengan memfokuskan peningkatan kualitasnya pada fisik, ekonomi dan sosial dari sebuah destinasi.

Sebuah pulau tidak akan bertambah luasnya kecuali dilakukan perluasan yang bisa membawa dampak pada lingkungan, kenyataan ini jarang disadari oleh beberapa pihak dengan terus melakukan pembangunan serta tanpa perawatan dan pemeliharaan serta lebih mengedepankan kuantitas daripada kualitas baik kualitas layanan kepada wisatawan maupun kualitas kehidupan masyarakat lokal.

Salam Pariwisata.

Referensi:
unwto.org
wikipedia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun