Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Belajar Toleransi dari Sebuah Keluarga di Lombok dan Sumbawa

30 Agustus 2023   07:18 Diperbarui: 30 Agustus 2023   07:36 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musholla di rumah di Lombok (dokpri)

Pemahaman dan penerapan Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila terutama sila pertamanya yaitu Ketuhanan yang Maha Esa adakalanya tidak mudah dalam kemajemukan bangsa kita ini.

Tidak sedikit berita berita yang kita baca dimana terjadi gesekan gesekan saat adanya pembangunan rumah ibadah di berbagai daerah di Indonesia.

Akan tetapi ini tidak sedikit pula warga negara kita yang sudah memahami dan menerapkan Bhineka Tunggal Ika dan sila pertama Pancasila dalam kehidupan mereka.

Salah satunya adalah di kediaman keluarga asal Bali yang tinggal di Lombok yang selain menyediakan tempat beribadah berupa mushola selain dari tempat beribadah bagi keluarga besar sang tuan rumah.

Pintu rumahnya pun selalu terbuka, tidak hanya untuk berkunjung tapi juga tempat berteduh bagi yang dalam perjalanan, tidak jarang pula kru media pernah berteduh di kediaman beliau ini.

Penulis sendiri dan beberapa teman sudahi beberapa kali sempat berkunjung dan berteduh dikediaman beliau sejak sepuluh tahun yang lalu.

Orang tua penulis dan beliau sudah berkenalan sejak tahun 1990 an, sedangkan penulis baru mengenal beliau dan seluruh keluarga sejak tahun 2011.

Rasa persaudaraan yang diterapkan oleh beliau dan keluarganya tidak hanya dirasakan penulis saat di kediaman beliau di Lombok tapi juga di kedua hotal dan kediaman putera putera beliau di Sumbawa.

Rasa kekeluargaan yang begitu hangat terasa bagi siapa saja yang sudah tersentuh oleh rasa persaudaraan beliau dan seluruh keluarga beliau.

Ada satu waktu seorang teman penulis yang sebelumnya sudah memberitahu rencana kedatangannya di Sumbawa baru bertemu dengan tuan rumah saat menyantap makan siang di kediaman beliau tersebut.

Sang tuan rumah bukan kaget ada yang makan di ruang makan rumahnya melainlan kaget karena tidak tahu bahwa teman penulis sudah tiba di rumahnya, pelukan persaudaraan pun kemudian menyambut teman penulis tersebut.

Musholla di rumah di Lombok (dokpri)
Musholla di rumah di Lombok (dokpri)
Latar belakang dari teman penulis ini menyantap makan siang ini tanpa menunggu tuan rumah adalah dari kejadian yang dialami di kediaman di Lombok beberapa waktu sebelumnya

Saat itu teman penulis tiba di kediaman beliau di Lombok namun beliau dan ibu (almh) belum berada di rumah, oleh karenanya teman penulis menunggu mereka walau makan siang selalu tersedia

Ketika bertemu, teman penulis justru dimarahi karena belum makan siang dengan mengatakan jangan menunggu mereka kalau mau makan siang karena mereka sudah mengganggap teman penulis ini sebagai anak mereka.

Dokpri
Dokpri
Ada suatu sore pula ketika penulis sedang menginap di rumah beliau di Lombok dimana beliau dan keluarga memanggil penjual bakso yang sudah sering singgah, sang penjual bakso ini pun disuguhi secangkir kopi dan dapat bersantai ataupun mengambil air untuk mengganti air di embetmya serta mengambil air wudhu dan bersholat di rumah beliau yang sangat luas ini.

Rumah beliau di Lombok ini tidak hanya menyejukan mata dengan banyaknya tumbuhan di pekarangan yang luas namun juga menyejukan hati dan jiwa dengan rasa persaudaraan dan kekeluargaan serta toleransi yang ditunjukan oleh sang tuan rumah.

Apa yang telah diterapkan oleh beliau dan keluarganya ini bisa dipandang sebagai perwujudan dari pemahaman Bhineka Tunggal Ika dan sila pertama Pancasila sehingga bisa dilihat sebagai hal yang wajar dan lumrah, namun bisa menjadi hal yang luar biasa apabila hal ini juga diwujudkan oleh seluruh warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa.

Kita semua diciptakan oleh Tuhan dalam perbedaan yang bisa dalam berbagai bentuk namun bukan berarti perbedaan itu membuat kita mengelompokan diri dan bahkan membangun sebuah kekuatan terbesar.

Toleransi tidak melihat jumlah tapi kesamaan kita sebagai ciptaan Sang Pencipta, toleransi inilah yang diterapkan oleh sebuah keluarga besar di Lombok dan Sumbawa.

Pancasila bukanlah sekadar hafalan belaka saat di sekolah namun sebuah pedoman bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menjalani kehidupan kita di Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebuah pedoman yang dirumuskan dari perbedaaan perbedaan yang ingin bersatu dalam satu bingkai, Pancasila.

Kita hidup dalam negara yang merdeka dan berdaulat yang dalam arti bahwa seluruh watga negara dapat secara leluasa menjalankan kehidupan masing masing tanpa gangguan namun tetap sesuai dengan hukum dan aturan yang diberlakukan oleh negara bukan oleh kelompok tertentu.

Jadi mengapa kita tidak mengikuti jejak pendiri bangsa ini untuk bersatu ?,  bersatu dalam hal ini adalah berarti toleransi antara satu dengan lainnya tanpa adanya niat dan penilaian tidak baik terhadap lainnya.

Kita bisa saja berbeda dalam beberapa hal termasuk keyakinan namun kita semua sama dihadapan hukum dan Sang Pencipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun