Pembelian pesawat Airbus A-400M Atlas oleh Indonesia memang dapat dinilai sebagai langkah untuk meningkatkan angkut udara (airlift), namun benarkah demikian adanya ?
Situs Janes dalam sebuah ulasan nya mengatakan bahwa Indonesia meminta otonomi yang lebih luas kepada Airbus dalam proses produksi pesawat CN-235 sebagai salah satu kondisi atau isi dari perjanjian pembelian pesawat Airbus A-400M.
Otonomi tersebut berupa produksi beberapa segmen pesawat yaitu pada bagian depan pesawat (nose fuselage), roda depan dan roda pendaratan (nose and landing gears).
Apabila memang benar adanya, ini merupakan hal yang positif bagi Indonesia khususnya PT.DI, namun apakah semua ini cukup bagi pengembangan pesawat CN-235 itu sendiri secara keseluruhan dan juga produk lainnya ?
Setiap pesawat terutama yang cukup sukses pada model pertamanya biasanya dikembangkan kembali baik pada versi dan varian nya, untuk lebih mudah melihatnya adalah pada pesawat Boeing B 747 dari seri 100 hingga 400 serta seri terakhirnya yakni seri 8 interconnental nya.
Pesawat CN-235 memang merupakan project kerjasama antara Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) dengan Construcciones Aeronuticas SA (CASA) yang kemudian mendirikan Airtech.
Kerjasama ini hanya mencakup proses pendesainan hingga produksi pesawat CN-235 seri 10 dan 100/110 dan selanjutnya masing masing mengembangkan seri lanjutannya.
Pihak CASA yang kemudian bergabung dengan Airbus Military (sekarang Airbus Defence and Space) mengembangkan versi panjang nya yakni C-295 sedangkan IPTN (sekarang PT.DI) dengan N-245 walau masih dalam konsep hingga kini.
Dalam perkembangannya, pengguna utama pesawat CN-235 adalah pihak militer dengan berbagai versi nya seperti versi Maritime Patrol Aircraft (MPA) selain menjadi pesawat angkut sedang.
Sedangkan konsep pesawat N-245 adalah lebih berorientasi sebagai pesawat penumpang dan kargo (airliner) dengan tidak adanya ramp door di bagian belakang pesawat.