Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Penerbangan Perintis dengan Pesawat Buatan dalam Negeri

27 Januari 2023   19:40 Diperbarui: 27 Januari 2023   20:04 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan bagian dua dan terakhir dari artikel sebelumnya yang sudah tayang di Kompasiana dengan bertajuk 'Penerbangan Perintis Sebagai Penggerak Roda Perekonomian Daerah Terpencil'

***

Penerbangan perintis memang bukan penerbangan pada umumnya yang dilakukan oleh maskapai komersial (commercial airlines), mungkin penerbangan perintis ini menyerupai penerbangan yang dilakukan oleh pihak militer yang disebut dengan airlift -- istilah yang biasa digunakan dalam militer untuk mengangkut peralatan, perlengkapan dan personil militer.

Situs thefreedictionary mendefinisikan airlift sebagai berikut "  A system of transporting troops, civilian passengers, or supplies by air, as in an emergency or when surface routes are blocked.".

Sebuah sistem angkutan pasukan, penumpang atau barang barang kebutuhan melalui udara dalam keadaan darurat atau ketika akses darat menjadi hambatan.

Sedangkan definisi dari penerbangan perintis adalah adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.

Penentuan tujuannya pada airlift dan penerbangan perintis pun serupa yaitu sudah ditetapkan dengan berdasarkan kebutuhan, perbedaannya hanya pada pelaksananya, yang mana pada airlift pelaksanan nya berasal dari militer juga sedangkan pada penerbangan perintis penentu tujuan (rute) adalah pemerintah sedangkan pelaksananya adalah maskapai.

Rute penerbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah tersebut bukanlah rute yang secara komersial tidak menghasilkan manfaat ekonomi yang maksimum kepada maskapai komersial pada umumnya.

Dahulu Indonesia memiliki maskapai yang secara khusus untuk melayani penerbangan perintis akan tetapi karena beberapa penyebab akhirnya maskapai tersebut menghentikan operasionalnya.

Beberapa penyebabnya diantaranya adalah  ketika maskapai tersebut mencampuradukan dengan penerbangan komersial pada bisnisnya maka pengelolaan keuangan dan operasional pesawat pada armadanya menjadi tidak berjalan dengan semestinya.

Pemilihan jenis pesawat yang tidak sesuai dengan kebutuhan sebenarnya adalah salah satu contohnya lainny, bila dalam ilustrasi bisa kita gambarkan dengan pemilihan pesawat ukuran dan daya angkut nya melebihi dari kebutuhan penerbangan pada rute ke daerah di pegunungan.

Bila menggunakan contoh pesawatnya, kita bisa membedakan antara pesawat CN-295 dengan IPTN NC-212, walau sama sama pesawat angkut ringan tetapi daya angkutnya berbeda dan ini akan berimbas pada biaya operasional pesawat baik dalam sisi penerbangannya maupun sisi pemeliharaannya.

Pengoperasian pesawat CN-295 pada rute penerbangan yang dari sisi efisiensinya lebih baik dilakukan dengan pesawat NC-212 akan membuat tidak saja banyak kursi yang kosong dan kompartemen kargo yang tersisa banyak tetapi juga pengeluaran pada biaya operasional yang lebih tinggi.

Selain itu alasan lainnya bisa dari pemilihan pesawat tersebut yang mana dapat dioperasikan juga pada rute penerbangan komersial berjadwal mereka, yang jika dilihat dari sisi efisiensi operasional armada memang baik, akan tetapi bila pengelolaan keuangannya dicampuradukan akan membawa pengaruh pada kinerja keuangan mereka secara keseluruhan.

Sedangkan jika kita melihat pada maskapai komersial terdapat maskapai dengan layanan penuh atau Full Service Carrier/ Airline (FSC/FSA) dan ada maskapai berbiaya rendah atau Low Cost Carrier (LCC) yang membedakan pengelolaan manajemennya.

Pada sisi pemeliharaan pesawat, semakin banyak jam terbang pesawat (utilisasi) maka akan semakin cepat pula jadwal pemeliharaan berkala pesawat tersebut perlu dilakukan, dengan asumsi bahwa pemeliharaan berkala dilakukan sesuai jadwal namun jika tidak, ini akan mempengaruhi keselamatan penerbangan.

Namun itu sudah berlalu, mari kita melihat kedepan yang lebih dapat memberikan manfaat terutama kepada masyarakat yang memang benar benar membutuhakan penerbangan perintis ini.
Pada bagian dua atau dua bagian ini, penulis ingin melihat penerbangan perintis ini dari sisi hubungannya dengan industri kedirgantaraan kita yang dikelola oleh PT. Dirgantara Indonesia.

***
Pesawat yang mengalami kecelakaan di Beoga adalah pesawat de Havilland Canada DHC-6 300 yang kini produksinya dilakukan oleh pabrikan Viking Air

Pesawat ini merupakan pesawat ringan untuk berbagai kegunaan (utility aircraft) bermesin dua yang sudah diproduksi sejak tahun 1965 dengan total produksi sebanyak 985 unit oleh de Havilland Canada (per Desember 2019) dan sebanyak 141 unit oleh Viking Air.

Pesawat jenis ini memang sangat cocok dioperasikan pada rute penerbangan perintis dan secara khusus ke daerah dengan landasan pacu pendek karena pesawat ini memiliki kemampuan beroperasi di landasan pacu pendek (Short Takeoff Landing/STOL).

Banyak produk sejenis tersedia diantaranya Cessna 208 Caravan/Grand Caravan dan juga N-219 produk dari PT. Dirgantara Indonesia yanh sudah masuk tahap produksi setelah menerima type certificate pada tahun 2020 dari Directorate General of Civil Aviation Indonesia (Dirjen Perhubungan Udara Kementrian Perhubungan RI).

Menurut Wikipedia, PT. DI terakhir menerima pemesanan sebanyak 11 unit dari sebuah perusahaan di Indonesia sedangkan pemesanan sebelumnya dari beberapa maskapai dan Pemerintahan negara sahabat yaitu Thailand dengan total pemesanan sebanyak 120 unit per tahun 2019.

Tahap produksi sudah direncanakan mulai tahun 2019 dengan target awal production rate sebanyak 6 unit/tahun dan akan ditingkatkan hingga 36 unit/tahun. Ini berarti dibutuhkan kurang lebih 3-4 tahun untuk menyelesaikan semua pesanan yang telah diterima sebelumnya.

Namun ini dapat dipahami bila kita memahami bahwa dibutuhkan fasilitas tambahan untuk mengkonstruksi dan merakit pesawat terlebih dengan tingkat produksi yang telah dibutuhkan untuk menyelesaikan semua pemesanian.

Tetapi kita juga perlu melihatnya dari sisi lain dimana penambahan fasilitas untuk mengkonstruksi dan merakit pesawat N-219 tidak hanya dapat meningkatkan tingkat produksinya saja namun juga menyerap banyak tenaga kerja di bidang kedirgantaraan.

Pesawat N-219 ini dapat menggantikan peran pesawat pesawat pada penerbangan perintis khususnya ke daerah daerah terpencil seperti di pegunungan yang landasan pacunya sangat pendek.

Pesawat ini hanya memerlukan 435 meter untuk lepas landas dan 509 meter untuk mendarat (Kompas.com 28/12/20) sedangkan untuk DHC-6 300 Twin Otter menurut aircharteradvisors.com memerlukan 366 meter untuk takeoff dan 320 meter untuk mendarat. Untuk kapasitas penumpang, kedua pesawat sama sama memiliki kapasitaa penumpang hingga 19 orang.

Sedangakan untuk harga tidak terlalu jauh perbedaannya dimana N-219 dipatok dengan harga USD 5,8 - 6 juta sedangkan DHC-6 300 dipatok USD 6,500,000 untuk produksi tahun 2022.

Inilah saatnya Indonesia membangkitkan industri kedirgantaraan nasional dan meningkatkan kebanggaan nasional dengan memenuhi kebutuhan pesawat di dalam negeri sendiri melalui salah satunya yaitu penerbangan perintis yang bertujuan untuk membuka isolasi di daerah daerah terpencil, tertinggal dan terluar.

Tiongkok sudah melakukannya dengan pesawat Comac C919 nya dan maskapai China Eastern Airlines sudah mulai menggunakannya untuk penerbangan domestik mereka di tahun 2022 yang lalu.

Kita memerlukan penerbangan perintis dimana salah satu tujuannya adalah agar harga bahan bahan kebutuhan sehari hari masyarakat di daerah terpencil, tertinggal dan terluar dapat merata, namun kita juga ingin melihat rute penerbangan perintis kelak menjadi penerbangan komersial berjadwal seperti lainnya sebagai salah satu tanda keberhasilan dari penerbangan perintis dalam meningkatkan perekonomiannya.

Kita sudah memiliki industrinya, kita sudah memiliki pasar dari domestik dan kita memiliki penerbangan perintis yang cocok menggunakan pesawat N-219, tinggal kini saatnya kita semua terutama para pemegang kebijakan perlu berada di sudut yang sama dalam melihat ini semua.

Referensi :

  • kompas.com/tren/read/2020/12/28/190200465/ini-spesifikasi-pesawat-n219-buatan-indonesia-yang-lolos-sertifikasi
  • aircharteradvisors.com/de-havilland-dhc-6-300-twin-otter/
  • en.m.wikipedia.org/wiki/Indonesian_Aerospace_N-219
  • planesales.com.au/details/Listing/Commuter-Turboprop/8906/2022-De-Havilland-DHC-6-300-Twin-Otter-Aircraft

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun