Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Penerbangan Perintis dengan Pesawat Buatan dalam Negeri

27 Januari 2023   19:40 Diperbarui: 27 Januari 2023   20:04 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesawat Indonesian Aerospace N-219 (foto:Kompas.com)

Pemilihan jenis pesawat yang tidak sesuai dengan kebutuhan sebenarnya adalah salah satu contohnya lainny, bila dalam ilustrasi bisa kita gambarkan dengan pemilihan pesawat ukuran dan daya angkut nya melebihi dari kebutuhan penerbangan pada rute ke daerah di pegunungan.

Bila menggunakan contoh pesawatnya, kita bisa membedakan antara pesawat CN-295 dengan IPTN NC-212, walau sama sama pesawat angkut ringan tetapi daya angkutnya berbeda dan ini akan berimbas pada biaya operasional pesawat baik dalam sisi penerbangannya maupun sisi pemeliharaannya.

Pengoperasian pesawat CN-295 pada rute penerbangan yang dari sisi efisiensinya lebih baik dilakukan dengan pesawat NC-212 akan membuat tidak saja banyak kursi yang kosong dan kompartemen kargo yang tersisa banyak tetapi juga pengeluaran pada biaya operasional yang lebih tinggi.

Selain itu alasan lainnya bisa dari pemilihan pesawat tersebut yang mana dapat dioperasikan juga pada rute penerbangan komersial berjadwal mereka, yang jika dilihat dari sisi efisiensi operasional armada memang baik, akan tetapi bila pengelolaan keuangannya dicampuradukan akan membawa pengaruh pada kinerja keuangan mereka secara keseluruhan.

Sedangkan jika kita melihat pada maskapai komersial terdapat maskapai dengan layanan penuh atau Full Service Carrier/ Airline (FSC/FSA) dan ada maskapai berbiaya rendah atau Low Cost Carrier (LCC) yang membedakan pengelolaan manajemennya.

Pada sisi pemeliharaan pesawat, semakin banyak jam terbang pesawat (utilisasi) maka akan semakin cepat pula jadwal pemeliharaan berkala pesawat tersebut perlu dilakukan, dengan asumsi bahwa pemeliharaan berkala dilakukan sesuai jadwal namun jika tidak, ini akan mempengaruhi keselamatan penerbangan.

Namun itu sudah berlalu, mari kita melihat kedepan yang lebih dapat memberikan manfaat terutama kepada masyarakat yang memang benar benar membutuhakan penerbangan perintis ini.
Pada bagian dua atau dua bagian ini, penulis ingin melihat penerbangan perintis ini dari sisi hubungannya dengan industri kedirgantaraan kita yang dikelola oleh PT. Dirgantara Indonesia.

***
Pesawat yang mengalami kecelakaan di Beoga adalah pesawat de Havilland Canada DHC-6 300 yang kini produksinya dilakukan oleh pabrikan Viking Air

Pesawat ini merupakan pesawat ringan untuk berbagai kegunaan (utility aircraft) bermesin dua yang sudah diproduksi sejak tahun 1965 dengan total produksi sebanyak 985 unit oleh de Havilland Canada (per Desember 2019) dan sebanyak 141 unit oleh Viking Air.

Pesawat jenis ini memang sangat cocok dioperasikan pada rute penerbangan perintis dan secara khusus ke daerah dengan landasan pacu pendek karena pesawat ini memiliki kemampuan beroperasi di landasan pacu pendek (Short Takeoff Landing/STOL).

Banyak produk sejenis tersedia diantaranya Cessna 208 Caravan/Grand Caravan dan juga N-219 produk dari PT. Dirgantara Indonesia yanh sudah masuk tahap produksi setelah menerima type certificate pada tahun 2020 dari Directorate General of Civil Aviation Indonesia (Dirjen Perhubungan Udara Kementrian Perhubungan RI).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun