Permasalahan utama bagi kota kota besar pada umumnya bisa dikatakan pada  urbanisasi dan layanan transportasi publik serta adakalanya juga dampak dari pengintegrasian kota dengan kota kota terdekat.
Jakarta misalnya, bisa dikatakan sebagai Jakarta di malam hari saja, sedangkan di luar waktu itu Jakarta adalah juga Bekasi, Depok, Bogor, Tangerang dan Punjur (Jabodetabekpur).
Begitu pula pergerakan di kota Jakarta di luar malam hari sehingga bisa dikatakan pula jumlah orang yang ada di Jakarta bisa melebihi jumlah penduduk nya sendiri.
Pergerakan lalu lintas dari aktivitas orang orang membutuhkan moda transportasi yang dapat memenuhi kebutuhan mobilitas dengan mempelancar proses dari pemenuhan kebutuhan tersebut.
Namun ketika infrastrktur dan kendaraan transportasi publik tidak lagi dapat menampung pertumbuhan yang terjadi maka kemacetan jalan tak terhindari dan bisa bertambah buruk lagi dengan peningkatan kepadatan.
Tingkat kepadatan semakin tinggi karena adanya penambahan jumlah kendaraan yang tidak diimbangi oleh pembangunan dan perluasan infrastrukur dan kendaraan transportasi baik kendaraan untuk transportasi publik maupun pribadi.
Dan ketika sudah tidak ada lahan lagi untuk membangun dan memperluas infrastruktur berupa jalanan baik yang surface maupun elevated (layang), kemacetan tidak bisa dikurangi ataupun ditekan, yang bisa dilakukan dengan mengurai atau memecah kepadatan dari satu titik ke titik lain dimana titik titik pengalihan tersebut pada dasarnya juga sudah padat.
Dari semua diatas dapat dilihat bahwa kepadatan atau density tidak hanya pada hunian tetapi juga pada pergerakan sebagai dampak dari tidak tersedianya lagi lahan.
Kebijakan demi kebijakan diberlakukan yang hanya bertujuan untuk mengurai kepadatan di beberapa titik atau kawasan, sedangkan pertumbuhan jumlah kendaraan tidak seimbang dengan infrastruktur nya.
Sebuah kebijakan mungkin bisa dikatakan berhasil ketika kebijakan itu di turuti oleh semua orang akan tetapi ada yang terlewati oleh para pembuat kebijakan yaitu preferensi.