Mohon tunggu...
Widiyatmoko
Widiyatmoko Mohon Tunggu... Wiraswasta - Aviation Enthusiast | Aerophile | Responsible Traveler

Penggemar pesawat berbagai jenis dan pengoperasiannya serta perkembangannya melalui membaca. Airport of Birth : HLP Current Airport : DPS

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyoal Pengadaan Pesawat Berujung Kasus Hukum

22 November 2022   15:35 Diperbarui: 22 November 2022   23:53 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AgustaWestland AW 101 (Foto Via Kompas.com)

Pengadaan pesawat sepertinya cenderung menghasilkan kasus korupsi baik di lahan sipil maupun militer, sehingga tujuan dari pengadaan yang seyogyanya memang diperlukan dan dinilai tepat menjadi terlihat sebagai sebuah kesalahan.

Beberapa contohnya dari pengadaan pesawat yang menjadi masalah seperti pengadaan pesawat MA-60 serta CRJ 1000 oleh maskapai nasional kita yang pada akhirnya membuat performa dan kinerja maskapai itu sendiri.

Sedangkan contoh kasus yang saat ini masuk ke babak baru adalah kasus pengadaan helikopter Agustawestland AW 101 oleh TNI AU yang rencananya akan digunakan sebagai helikopter VVIP.

Pengadaan helikopter VVIP ataupun Kepresidenan menurut penulis adalah tidak ada masalah dan mungkin memang diperlukan sebagai pendamping dari helikopter VVIP yang sudah dimiliki oleh TNI AU yaitu Super Puma.

Akan tetapi karena ada kekeliruan dalam proses pengadaannya maka timbul kasus yang justru membuat pengadaan tersebut seperti tidak diperlukan atau tidak semestinya dilakukan.

Pesawat VVIP ataupun Kepresidenan baik itu yang bersayap tetap maupun bersayap putar bisa dipandang sebagai kebutuhan yang tidak mendesak akan tetapi dalam konteks mendukung mobilitas kepala negara dan pemerintahan serta tamu negara maka akan menjadi kebutuhan yang dipandang perlu.

Kita bisa mengambil contoh pesawat kepresidenan Amerika yaitu Boeing VC-25 berupa Boeing 747 200 serta Boeing VC-32 berupa Boeing B-757 bila bandara tujuan tidak dapat dilandasi oleh Boeing B-747 serta Helikopter Sikorsky VH-92A.

Sedangkan Indonesia memiliki Boeing 737 800 NG dan Helikopter Super Puma sebagai pesawat VVIP/ Kepresidenan yang dikelola oleh Sekretariat Negara melalui TNI AU untuk operasionalnya.

Penggunaan helikopter VVIP tidaklah sama pada setiap negara karena disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas serta kemampuan finansial masing masing negara.

Sedangkan untuk Indonesia, menurut penulis lebih diperlukan helikopter serba guna (utility helicopter) yang dapat digunakan untuk segala jenis misi seperti untuk angkutan orang dan barang, misi penyelamatan serta penanggulan bencana.

Dalam kasus pengadaan helikopter yang bermasalah ini sebenarnya tujuan pengadaannya menurut penulis tidak ada salahnya akan tetapi menjadi bermasalah ketika terjadi pemilihan pesawat yang tidak sesuai kebutuhan dan kemampuan finansial negara serta ketidaksesuaian spesifikasi serta kelengkapan lainnya dengan rencana pembelian.

VH-71 (foto: Wikimedia Commons)
VH-71 (foto: Wikimedia Commons)

Helikopter Agustawestland AW 101 sendiri nyaris menjadi helikopter Kepresidenan Amerika melalui helikopter VH-71 Kestrel yaitu varian dari Agustawestland AW 101 yang dibuat oleh pabrikan Lockheed Martin sebelum akhirnya dibatalkan oleh Presiden AS ketika itu yaitu Barrack Obama yang menilai biaya pengadaan nya terlalu tinggi dalam program pengadaan VXX untuk helikopter kepresidenan AS.

Padahal sudah 9 buah helikopter terbangun dari 23 buah yang dipesan dan pada akhirnya pemerintah AS memilih helikopter Sikorsky VH-92.

Kesimpulannya adalah pengadaan pesawat baik yang bersayap tetap maupun putar merupakan kebutuhan yang harus dilakukan ketika harus menambah atau meremajakan armada akan tetapi proses pengadaan ini sering kali menjadi ajang untuk mendapat keuntungan oleh oknum oknum yang justru menjadi pengambil keputusan akhir dari proses ini.

Mulai dari pemilihan jenis pesawatnya yang tidak sesuai dengan kebutuhan hingga diluar dari kemampuan finansial sering kali menjadi biang kerok.

Alhasil proses pengadaan pesawat yang seharusnya menguatkan armada justru melemahkan perfoma keuangan dan kinerja pada akhirnya atau membuka proses hukum seperti yang terjadi pada kasus AW 101.

Jika pesawat yang sudah diperoleh tersebut dapat dikembalikan ke pihak leasing, hal ini dapat mengurangi beban finansial di.masa mendatang namun ketika tidak bisa dikembalikan ataupun karena pembelian sudah lunas maka sebaiknya dipikirkan untuk dapat mengurangi kerugian negara dan para pembayar pajak (rakyat) dengan segera dan tidak menunggu bertahun tahun.

Proses hukumnya dapat berlangsung bertahun tahun, begitu pula seharusnya utilisasi helikopter tersebut bila helikopter tersebut masih mangkrak di hanggar.

Pemerintah memang sudah membatalkan pengadaan helikopter Agustawestland AW 101 akan tetapi uang pembayar pajak sudah dikeluarkan dan kini berbentuk helikopter dan tak diketahui rencana selanjutnya.

Bila helikopter Agustawestland AW 101 yang sudah dibeli merupakan konfigurasi VVIP mungkin bisa dirubah menjadi helikopter angkut atau lainnya karena pada dasarnya AW 101 merupakan helikopter serba guna.

Namun demikian entah ditangan siapa kini nasib dari helikopter ini berada.

Referensi :

Satu Dua Tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun