Beberapa hari yang lalu terjadi insiden dialami oleh seorang wisatawan nusantara saat berllibur di Gili Trawangan, Lombok NTB berupa apa yang disebut dengan catcalling, beritanya ada di Kompas.com (17/9/22)
Sang wisatawan nusantara kemudian mengunggah konten di akun tiktok nya mengenai apa yang dialaminya, buntutnya kini dia dituntut atas dasar pencemaran nama baik dari masyarakat sekitar.
Kejadian catcalling atau street harrasment ini bukan pertama kalinya terjadi, dilansir dari Kompas.com (8/2/22) ada kejadian catcalling yang dilakukan oleh seorang petugas dikawasan Malioboro.
Apa itu catcalling?
Mengutip dari Kompas.com  (8/2/21), komisioner komisi perempuan Rainy Hutabarat mendefiniskan catcalling sebagai pelecehan seksual yang biasanya terjadi di ruang dan fasilitas publik dalam bentuk verbal dan psikis, yang bisa berupa siulan, pujian, kedipan mata dan ucapan yang bernuansa seksual serta membuat obyek tertekan.
Dr. Deirdre Davis seorang ahli kedokteran menulis makalah akademiknya pada tahun 1994 berjudul "The Harm That Has No Name: Street Harassment, Embodiment, and African American Women", menyebutkan  ada lima karakteristik pelecehan seksual di jalan ini.
Kelima karakteristik tersebut adalah :
1. Tempat kejadian umumnya di ruang publik
2. Melibatkan pria dan wanita
3. Ucapan terima kasih bisa berbuntut pelecehan selanjutnya
4. Komen atau pujian biasanya tertuju pada sesuatu yang tak tampak pada fisik wanita
5. Komen pelaku yang hanya bisa berupa pujian dan terselubung bersifat tidak menghargai dan objektifikasi terhadap korban.
Di beberapa destinasi wisata dimana kawasan pantai menjadi pusat kegiatan wisata, pemandangan akan wisatawan dengan berbagai penampilan ala pantainya adalah sebuah hal yang sudah umum dan tidak seharusnya menjadi tempat dari terjadinya pelecehan seksual di ruang publik ini.
Bagi orang orang yang sehari harinya memang berada di kawasan tersebut, juga sudah menyadari tanggungjawab bersamanya dengan semua pihak untuk saling menjaga nama baik kawasan tersebut sehingga batas batasan yang tak tertulis pun tidak akan dilangkahi.
Akan tetapi pelaku dari pelecehan seksual ini juga bisa siapa saja yang berkumpul pada satu kawasan tersebut yang belum bisa memperlambat laju imajinasi mereka dalam memproses pemandangan seperti ini dengan menggunakan akal sehat dan kesadaran sebagai filter.
Ketika pelaku ternyata tidak berasal dari sekitar maka dampak dari perbuatannya sangat mempengaruhi nama baik dari sebuah destinasi wisata dan bisa membuat calon pengunjungnya menjadi khawatir dan bahkan bisa membatalkan kunjungannya.
Pelajaran yang dapat diambil disini adalah kita sebagai manusia memang diberkahi dengan freewill akan tetapi sebagai manusia kita juga diberkahi dengan akal sehat dan kesadaran untuk menyaring segala pilihan dihadapan kita, dimana dan kapanpun itu.
Setiap manusia memiliki ranah pribadi yang hakekatnya harus diperlakukan dengan rasa hormat.
Bahkan dibeberapa kawasan wisata dengan konsep nakation atau clothing-optional sekalipun, kegiatan voyeuring dan kegiatan yang mengarah pada pelanggaran ruang pribadi orang lain adalah dilarang, ini sebagai bentuk penghormatan kepada sesama manusia meskipun di kawasan yang memiliki tingkat kemungkinan terjadinya pelecehaan seksual di ruang publik dapat terjadi.
Keamanan bagi wisatawan merupakan hal yang utama, tidak hanya terhadap barang bawaannya mereka saja melainkan utamanya terhadap keselamatan diri di destinasi wisata, mereka baru akan yakin untuk melakukan kegiatan wisata setelah yakin akan keselamatan diri mereka.
Dan seperti yang dikatakan oleh Dr.Deirdre diatas dimana perkataan "terima kasih" dari wisatawan atas pujian yang dilontarkan oleh orang lain bisa berbuntut panjang dimana orang  lain bisa memaknainya dengan cara berbeda beda pula.
Destinasi wisata memang merupakan tempat berkumpulnya orang orang yang tidak mengenal  satu sama lain, namun bukan dengan cara catcalling atau street harrasment bila kita ingin berinteraksi dengan orang orang di destinasi wisata atau tempat umum.
Masih terdapat "private dan privacy" yang kita harus jadikan pertimbangan, begitu pula harapan dan ekspektasi kita dari orang lain terhadap diri kita.
Adakalanya antrian panjang di ATM atau di loket tiket kapal penyeberangan bisa membuka sebuah percakapan ringan antar dua orang yang tidak saling kenal sebelumnya, kita tidak pernah tahu.
Adalah tugas kita semua sebagai warga negara Indonesia untuk menjaga nama baik dari destinasi wisata kita, tidak hanya tugas dan kewajiban para pelaku usaha wisata di destinasi wisata saja.
Caranya sama dengan saat kita berada di ruang publik lainnya dan tidak melakukan yang melangkahi ruang private dan privacy orang lain.
Kita juga harus selalu ingat ketika kaki kita menginjak di destinasi wisata, sejak itu pula kita menjadi tamu di daerah lain yang memiliki aturan, adat istiadat dan tradisi yang bisa berbeda dengan daerah asal kita, ada sekumpulan aturan dan etika yang tidak perlu tertulis pada papan pengumuman,  kita seharusnya sudah dapat memahaminya.
Mari kita menjadi respectful dan responsible traveler.
Referensi :Â
1.Street Harrasshment on Wikipedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H