Pelayanan navigasi udara terhadap ruang udara ini merujuk pada Flight Information Region (FIR) Singapore yang telah ditetapkan oleh Badan Aviasi Sipil Dunia atau ICAO pada tahun 1947.
Singapura melakukan berbagai usaha mulai dari penyediaan peralatan dan peningkatan sumber daya manusia nya untuk dapat selalu menjamin keselamatan penerbangan yang trafiknya kian meningkat pula dari tahun ke tahun.
Berbagai peralatan dengan teknologi dan fasiltas yang mumpuni disediakan oleh Singapura seperti radar utama dan radar kedua dengan jangkauan jauh (long range radar) untuk memonitor dan mengatur semua pergerakan pesawat di FIR Singapore.
Singapura memiliki sistem radar jangkauan jauh yaitu Long Range Radar and Display System (LORADS) yang ditempatkan di pusat pengendalian trafik udara mereka di bandara Changi, sistem radar ini yang menyediakan layanan penerbangan di FIR Singapore terutama pada pesawat yang hendak mendarat (approach) dan juga yang berada di FIR Singapore.
Pergerakan pesawat juga mencakup keberangkatan dan kedatangan yang dalam prosesnya menggunakan beberapa ruang udara untuk keperluan yang berbeda beda seperti untuk descend, climb, approaching dan holding/circlying sehingga ketika trafik di ruang udara tersebut semakin  padat maka penanganannya pun harus tetap dapat menjamin keselamatan dan keefektifan lalu lintas pesawat didalam ruang udara tersebut.
Dengan melihat apa yang dilakukan oleh Singapura  sejak tahun 1981 serta kedepannya maka tidak berlebihan pula jika dikatakan bahwa dengan memiliki bandara Changi dan sebagai penyedia layanan navigasi udara, Singapura akan tetap menjadikan angkutan udaranya sebagai salah satu pilar perekenomiannya dengan selalu meningkatkan peralatan navigasi udara dan fasilitas bandara serta kemampuan sumber daya manusianya.
Pada tahun 2017 pihak IATA dalam laporannya berjudul " The Importance Air Transport to Singapore" memprediksi akan terjadi pertumbuhan sebesar 126% pada 20 tahun mendatang atau hingga tahun 2037 di industri penerbangan penumpang di Singapore dan pertumbuhan tersebut berkontribusi pada GDP Singapore sebesar $ 826 milyar serta hampir 570 lapangan pekerjaan.
Hal ini sebenarnya menjadi tantangan berat bagi Indonesia  yang telah lama menginginkan untuk mengelola ruang udara diatas Kepulauan Riau dan Natuna pada FIR Singapore yang masuk dalam teritori negara Indonesia.
Industri penerbangan adalah industri yang melekat pada teknologi yang berbiaya tinggi mulai dari proses risetnya hingga penggunaannya, semakin canggih sebuah teknologi semakin tinggi pula biayanya, ini belum termasuk pelatihan pada sumber daya manusianya.
Sedangkan kemajuan teknologi kini semakin cepat laju perkembangannya sehingga semakin lama waktu berlalu semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan oleh kita bila ingin mengelola ruang udara tersebut.
Selain itu tidak akan mudah bagi Singapore untuk mengembalikan pendelegasian ruang udara diatas Kepulauan Riau dan Natuna kepada Indonesia dengan melihat betapa pentingnya angkutan udara bagi negaranya serta melihat tingkat kemampuan Indonesia baik dari segi peralatan maupun sumber daya manusia nya.