Pada sebuah beeita di Kompas.com.(12 Juli 2022) menyajikan Bali yang ditempatkan di urutan ketiga pulau indah di dunia versi Travel and Leisure, walau ini tidak mengejutkan karena sudah sewajarnya tetapi berita ini dapat dijadikan alarm pengingat kepada semua pihak yang terlibat dalam perkembangan pariwisata di Indonesia.
Bukan alarm agar kita terbangun dari tidur karena pariwisata kita tidak tidur, melainkan pengingat bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan dengan begitu kita memiliki banyak sekali pulau pulau yang sebenarnya bisa menjadi pendamping Bali di 10 besar dalam berbagai penilaian dari berbagai pihak.
Saatnya tidak hanya terfokus kepada Bali saja dan dengan destinasi super prioritas nya pula, karena dapat dikatakan jumlah 10 pada program New Bali hanya mempresentasikan prosentase yang sangat sangat kecil dari semua kawasan di Indonesia yang juga memiliki potensi yang sama.
Pada website travel and leisure disebutkan sistem penghargaan ini yang dibagi menjadi beberapa.kategori yaitu Airlines, Airport, Hotel, City, Restaurant, Car Rental, destination spas, cruise.ships, island, US national.parks, hotel Brands dan tour operator.
Dengan melihat klasifikasi tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa pariwisata mencakup itu semua dimana masing masing menjadi satu kesatuan yang tidak hanya terintegrasi tetapi juga menjadi pendukung satu sama.lain.
Ilustrasi dari terintegrasi bisa kita bagi pada dua  kategori pembahasan disini yaitu aviasi dan pariwiasta, mari kita mulai dari aviasi.
Pada aviasi kita bisa melihatnya dari bagaimana seharusnya peran maskapai dalam mendatangkan para wisatawan dari berbagai bangsa yang mencakup pembukaan rute rute penerbangan langsung dan pelayanan di udara, sedangkan bandara udara dengan memberikan kemudahan baik layanan dan informasi kepada wisatawan serta aksesibilitas ke poin poin penting yang ada disekitar seperti hotel, transportasi, spot wisata serta bila bandara tersebut merupakan tempat transit wisatawan yang jeda waktunya lama, tidak ada salahnya dengan menawarkan tur keliling kota (sightseeing).
Dengan demikian bandara tidak hanya melayani wisatawan yang Origin dan Destination (O&D) saja melainkan juga yang transit, dengan sadar atau tanpa disadari kita sering melupakan penumpang transit yang juga merupakan calon tamu yang potensial dikemudian hari.
Akan lebih baik pula jika para maskapai dan operator bandara di Indonesia melihat kriteria penilaian dari sistem penghargaan T+L ini dan penghargaan yang diselenggarakan oleh pihak lainnya, dengan begitu kita tidak terlena dengan apa yang sudah raih dengan pemghargaan dari satu atau beberapa pihak saja.
Pada kategori pariwisata penulis hanya mengambil kelas Cities dan Island saja dengan alasan bahwa kedua kelas ini yang secara langsung berhubungan dengan pemangku kepentingan di level daerah dan nasional, sedangkan yang lain bisa diserahkan kepada masing masing pengelola yang yang berasal dari swasta.
Pada kriteria penilaian kota, pihak T+L menerapkan dari sisi Sights/landmarks, culture, food, friendliness, shopping, value, dari sini dapat kita lihat bahwa pada dasarnya beberapa kota "besar' atau kota utama di Indonesia sudah memenuhi semua kriteria seperti banyaknya mall misalnya, namun kenapa hanya Ubud di Bali saja yang bertengger di urutan ketiga dalam 25 kota terbaik di dunia versi T+L ini.
Ubud tidak bisa dikatakan sebagai kota pesaing utama dari kota kota besar yang masuk dalam daftar 25 Kota terbaik di dunia yang kebanyakan adalah ibukota dan kota besar di sebuah negara.
Rasa kecewa dan kalah bukan dirasakan oleh kota kota besar yang dikalahkan Ubud, tetapi negara negara yang.memiliki banyak kota besar tapi tidak masuk dalam daftar itu, termasuk kita Indonesia.
Pertanyaan kemudian bisa muncul seperti ini, apakah tidak ada yang memberikan penilaian dan voting pada kota kota di Indonesia ? Jika benar ini menandakan masih sedikitnya jumlah wisatawan asing yang menilai kota kota besar kita kurang menarik untuk dimasukan dalam agenda liburan mereka.
Kota tidak hanya merupakan tempat kegiatan bisnis saja tetapi juga bisa menjadi obyek wisata yang menarik dengan berbagai attraction atau daya tarik seperti peninggalan bersejarah dan lainnya.
Pada salah satu kriteria diatas disebutkan landmark, apakah di kota kota besar di Indonesia kekurangan landmark ?
Pihak T+L sebenarnya membuka mata bagi kita  khususnya pada pemangku kepentingan di kota kota besar untuk lebih giat lagi merias dan mengelola kotanya sebagai destinasi wisata atau paling tidak menjadi tempat transit yang menarik untuk tidak dilewatkan dan jika wisatawan tertarik, sebuah tur singkat keliling kota bisa menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan tempat liburan selanjutnya ataupun transit lebih lama.
Pada kelas Island atau pulau ini merupakan pembahasan yang sangat menarik penulis karena penulis menyukai wisata bahari (nautical tourism), selain itu jika kita membahas pulau kita tidak hanya terpaku pada sun, sand dan sea saja tetapi juga pesisir dan daratan juga serta community yang bermukim disana.
Namun mari kita tetap pada pembahasan.
Pada kriteria pulau terdapat unsur Natural attractions/beaches, activities/sights, restaurants/food, people/friendliness, value, nah apakah kita yang punya banyak sekali pulau ini yang tidak bisa mendampingi Bali dalam penghargaan tersebut ?
Jawabannya bisa karena pengembangan wisata bahari belum maksimum, masih banyak sekali pulau pulau kita yang super menawan dan cantik yang belum tersentuh dengan beberapa kritera penilaian mereka yaitu restaurant/food dan activities dengan berbagai pilihan aktivitas pantai seperti snorkeling dan diving dan lainnya.
Tidak ada akomodasi penginapan dalam kriteria tersebut menandakan bahwa tidak semua pulau harus dijadikan tempat bermalam dengan perkataan lain bisa hanya berupa island hopping.
Nah untuk mendukung island hopping adalah kapal wisata, kenapa kita tidak memulai untuk lebih menggiatkan itu.
Penentuan jalur pelayaran wisata seperti di Kepulauan Sunda Kecil, mengelilingi TN Ujung Kulon dengan pemandangan anak Krakatau, eksplor kawasan Mutiara di Kepulauan Riau, dan saling adventure trip ke atol Takabonerate dan Sabalana dan lainnya bisa dilakukan.
Jika kita bisa merubah kelas US National Parks menjadi National Park saja, kita punya banyak taman nasional, baik itu yang didarat maupun kombinasi laut dan daratan seperti Baluran, Ujung Kulon, Kerinci, Rinjani, Komodo dan lainnya.
Pada kriteria T+L disebutkan beberapa unsur yaitu Natural attractions, activities, lodging, wildlife, accessibility, cleanliness, dan sepertinya tidak ada penyebutan pengembangan seperti Jurassic Park disini.
Mari kita berfokus pada kata Lodging disini yang tidak mengacu pada penginapan mewah, lodging sesuai kamus adalah Furnished rooms in another's house rented for accommodation atau Sleeping accommodations sehingga bila diilustrasikan bahwa pondok kecil (hut) sudah cukup mempresentasikan definisi tersebut.
Selain itu konsep hotel memang tidak sesuai dengan Taman Nasional yang lebih mendekatkan pengunjung pada alam.
Kenapa kita justru berjalan berbeda arah dalam pengembangan Taman Nasional kita dengan kriteria T+L yang bisa dikatakan sebagai salah satu mercusuar informasi dan rekomendasi bagi wisatawan di seluruh dunia ?
Bahkan kita hanya banyak berfokus pada satu Taman Nasional saja padahal kita punya banyak dan diantaranya ada yang sudah ditetapkan menjadi Taman Bumi atau Geopark.
Dari semua itu ada baiknya jika fokus pengembangan pariwisata tidak hanya pada satu atau beberapa destinasi saja, mulailah memandangi peta Indonesia dan berkaca bahwa kita ini negara kepulauan sehingga wisata bahari adalah sangat potensial untuk dikembangkan.
Pariwisata mencakup bamyak hal yang pada kebanyakan keadaan saling mendukung serta tidak hanya terfokus pada bangunan beton saja ataupun hanya berdasarkan pemikiran kita dan beberapa pihak tentang apa yang wisatawan (asing dan domestik) inginkan, mulailah untuk juga melihat kriteria penilaian penghargaan dari pihak pihak yang dijadikan mercusuar bagi wisatawan.
Maskapai tidak berfokus pada pihak pihak yang melakukan penilaian terhadap maskapai saja (airline rating) tetapi juga pada bidang lain seperti pariwisata yang dilakukan oleh T+L ini begitu pula hotel dan lainnya melakukan hal yang sama.
Sesuatu yang viral memang baik namun viral bersifat sementara sedangkan pariwisata tidak saja bersifat selamanya tetapi juga antar generasi dan antar teknologi sehingga dinamis, sesuatu yang tidak menutup diri untuk berubah dan berbenah.
Segentasi wisatawan tidak ada dalam kriteria penghargaan T+L ini karena memang tidak lazim sebuah destinasi yang (seharusnya) memang mainstream dijadikan destinasi yang me segementasikan pengunjung, dan oleh karenanya segmentasi wisatawan bukan merupakan obyek penilaian dari sebuah destinasi wisata.
Mari kita mulai berjalan dengan tidak berlawanan arah atas dasar sesuatu yang justru tidak dapat mempermudah perjalanan kita.
Pariwisata tidak bisa berkembang dari pemikiran dan ide dari satu atau beberapa pihak saja tetapi juga semua unsur yaitu pelaku wisata (wisatawan), pelaku usaha pariwisata, Pemerintah, masyarakat sekitar serta media baik offline maupun online seperti T+L Â dan para blogger tak terkecuali semua Kompasianer yang memiliki perhatian besar pada pariwisata.
Untuk melihat keseluruhan kriteria penilaian T+L bisa dilihat di link ini
Lebih kurangnya penulis memohon maaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H