Mohon tunggu...
Daffa Lakoro
Daffa Lakoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Salah satu Mahasiswa (baru) di Universitas Airlangga. Saya memiliki minat di periklanan, desain grafis, dan kepenulisan, hobi saya mempelajari tren-tren terbaru di media massa/sosial, menulis (novel/et, puisi, prosa), saya pernah menjadi editor esai untuk siswa-siswa di SMA saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Doomscrolling: Konsumsi Konten di Internet Memengaruhi Kesehatan Mental

21 Juni 2024   08:25 Diperbarui: 21 Juni 2024   08:28 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Misal, S bangun di pagi hari pada pukul 6. Hal ini membuatnya merasa kesal bahkan sebelum matanya terbuka. Mengapa? Karena ia baru tertidur pukul satu dini hari karena rutinitas doomscrollingnya terkait isu-isu yang tengah panas di sosial media, kecemasan mengenai jalanan yang rawan oleh begal ataupun gangster memenuhi pikirannya, membuatnya kesulitan tidur dan 

overthinking, dan bangunnya yang terbilang sangat pagi untuknya ini pun dikarenakan tuntutan manajernya di kantor. "Ada yang harus segera dikerjakan!" begitulah bentakan bosnya ketika ia baru turun dari taxi sepulang dari kantornya semalam.

Begitu sampai di kantor, ia tidak membalas sapaan rekan kerjanya.Ia tidak berkolaborasi dengan baik kepada teman-temannya begitu diminta laporan terbaru inventaris kantor mereka. Perilakunya ini membuatnya menjadi topik utama istirahat makan siang mereka. Mendengar kabar kalau dia tengah dibicarakan oleh rekan-rekan lainnya membuat S kesal, lagi-lagi memengaruhi kondisi psikologisnya yang kemudian memengaruhi kinerjanya dalam bekerja. Stresnya meningkat, lelahnya bertambah, dan beban pikirannya menumpuk.Apa yang menjadi awal mula konflik batin dalam pikiran S? Betul, selain kualitas tidur yang buruk, interaksi dan kontak sosial yang kurang mengenakkan. doomscrollingmenjadi salah satu penyebab utamanya.

Lantas, penanganan seperti apa yang tepat untuk diberikan pada 'pecandu' doomscrolling ini? Bagaimana tindakan yang tepat untuk menghadapi para doomscroller ini? Dan untuk kita sendiri, bagaimana sebaiknya menyikapi isu-isu yang ada, yang menurut kita harus segera kita selesaikan dengan tangan sendiri?

Sebelum mencari jawaban untuk penanganan perilaku tersebut, kita harus mengetahui mengapa orang-orang melakukan doomscrolling baik itu di media sosial atau di media kabar lainnya. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, doomscrollingsebenarnya terjadi sebagai bentuk pelarian. Doomscroller melakukannya karena berpikir dengan begitu, mereka akan mendapatkan ketenangan setelah menggulir-sesat dan mengonsumsi informasi dan konten negatif  terkait isu-isu yang tengah panas, berpikir dengan begitu, akan menyelesaikan hal-hal tersebut, padahal yang terjadi malah sebaliknya; konten-konten tersebut mengganggu psikis mereka, sehingga menyebabkan cemas dan gelisah berlebih hingga meningkatkan tingkat stres yang mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupannya (Watercutter, 2020).

Inti dari doomscrolling adalah keterpakuan seseorang untuk terus mengonsumsi konten-konten yang beredar di internet, merasa kalau mereka tidak bisa untuk tidak menghiraukannya, atau hanya sekadar merasakan ketegangan yang ada, adrenalin. Perlu bagi mereka untuk tidak menghiraukan konten-konten tersebut.Tidak semuanya baik untuk mereka konsumsi. Tidak baik untuk selalu menguras, membuang pikiran dan tenaga untuk hal-hal di luar batas kita. Tidak semuanya bisa kita kendalikan bagaimanapun itu.

Pemikiran seperti inilah yang perlu ditanamkan di benak mereka. Stoicisim, cara berpikir mengenai kehidupan. Cara berpikir di mana ketahanan mental dibentuk tanpa harus dikomunikasikan atau diekspresikan ke pada orang lain, tapi tidak dengan membiarkan emosi-emosi negatifberdiam dalam pikiran yang malah merusak pikiran individu, namun dengan menyalurkan energi negatif tersebut ke hal-hal lain (Kaukiainen & Klves, 2020).

Dalam kehidupan sehari-hari, kerap kali kita menemukan orang-orang yang tidak peduli, acuh tak acuh dengan kejadian-kejadian buruk yang tengah mereka alami. Semisal, pacar teman kita baru saja mengakhiri hubungan mereka dengan beribu alasan. Apabila kita menempatkan kaki kita di sepatu si teman, kita mungkin akan merasa down, putus asa, frustasi, sakit hati, iri dengki. Namun, mengapa tidak dengan si teman? Apakah ia sudah menanti ini? Apa sebenarnya hubungan mereka sudah separah itu? Nyatanya, setelah bercerita dan curhat, si teman ini masih 

sangat mencintai pacarnya itu. Segala kenangan yang sudah mereka lewati, terbakar begitu saja menjadi abu melalui kata-kata pengakhiran itu, bagaimana hal tersebut tidak menyakiti hatinya?

Di luar dari itu semua, ia sudah lama sepakat dengan dirinya. Sebuah komitmen yang ia bentuk untuk dirinya sendiri jikalau hal semacam ini terjadi. Ia berjanji, kalau saja pacarnya itu memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka, entah karena alasan apa, ia tidak akan membiarkan kesedihan melampaui pikirannya. Ia tahu, dengan membiarkan pikirannya bersedih muram durja, akan memengaruhi kesehatan psikologi atau mentalnya, bahkan kesehatan fisik dan jiwanya. Setelah melewati fase batin itu, mulai muncul di pikirannya; "Ia sudah meminta untuk mengakhiri hubungan, tanpa ada kesempatan. Ya sudah, saya bisa apa? Effort apalagi yang harus saya berikan agar dia bertahan kalau dari dianya saja sudah tidak mau?" Logika membanjiri kepalanya, mengusir emosi yang tidak logis ataupun valid.Ia melepaskan, merelakan, lalu tidak memedulikannya lagi. Kenapa? Karena hal-hal tersebut sudah di luar batas dan kemampuannya. Tidak ada gunanya memohon kepada sang (mantan) pacar untuk bertahan kalau bahkan dia tidak ada keinginan lagi untuk melanjutkannya. Begitu ia melepas semuanya, tidak ada beban-beban semu yang hinggap di pundaknya. Pikirannya tetap jernih, tenang. Karena sudah di luar kesanggupannya, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan, maka ia selanjutnya fokus ke hal-hal yang ia mampu.

Wacana tersebut menggambarkan bagaimana stoicism menjaga individu dari mempermasalahkan hal-hal di luar kemampuannya, yang apabila diteruskan, malah akan membuatnya tertekan karena tida bisa berbuat apa-apa. Kunci dari stoicism adalah ketidakpedulian, pengolahan emosi yang baik, dan supresi emosi atau ekspresi yang benar, tanpa melupakan bahwa emosi negatif perlu dikelola dan dilepas atau dilampiaskan sehingga tidak menyakiti batin dan pikiran seseorang (Wagstaff & Rowledge, 1995).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun