Tidak dapat dipungkiri lagi, penggunaan media sosialbagi masyarakat modern merupakan salah satu hal yang kritis untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka. Tahun 1983 menjadi awal mula munculnya kebutuhan ini, ditandai dengan pertama kalinya internet masuk ke Indonesia, dibawa oleh PT. Indosat.Walaupun tidak seramai sekarang, namun penggunaan media sosial pada periode tersebut baru digunakan oleh instansi pemerintah dan sivitas atau kalangan akademisi (Cuikitalia, 2023).
Kian lama waktu berlalu, lebih banyak lagi penyedia layanan internet di Indonesia yang muncul, sehingga menambah kapasitas dan pengguna internet dari berbagai kalangan. Pada tahun 2020, hasil data statistik dari We Are Social and Hootsuite menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ketiga untuk pertumbuhan populasi pengguna/pengaksesan internet, yaitu sekitar 25 juta pengguna baru dari setahun terakhir(Viarezka, 2021, p. 2).Untuk periode 2022-2023, Badan Pusat Statistik telah merilis data statistik pengguna internet berdasarkan umurnya, dengan mayoritas pada umur 25 tahun ke atas di angka 58,63%. Pada kelompok umur 19-24 tahun, tercatat di angka 14,69%, kelompok umur 13-15 tahun berada di angka 6,77%, dan terakhir, pada kelompok 5-12 tahun yaitu 12,43.
Mengapa penulis memasukkan data tersebut ke dalam tulisan ini? Data-data tersebut mencakup pertumbuhan pengguna internet di Indonesia berdasarkan umur, di mana banyak dari variabel dan kelompok data menyebutkan bahwa terdapat anak-anak di bawah umur yang sudah mengakses internet, yaitu dari rentang lima hingga lima belas tahun. Kita akan fokus di rentang 12-18 tahun. Menurut Hurlock (1980), usia ini merupakan usia remaja, yaitu masa-masa labil suatu individu dalam mengelola emosi dan pikirannya.
Lonjakan pengguna di rentang umur tersebut salah satunya disebabkan oleh pandemi COVID-19, bersamaan dengan digitalisasi di segala aspek kehidupan manusia. Tidak hanya itu, pandemi ini mengubah sistematika atau cara kerja kesehatan mental yang sudah ada(Galea, Merchant, & Lurie, 2020)
Kita semua tahu, orang tua di generasi ini kerap kali memberikan gawai yang mereka punya pada anak-anak mereka ketika anak mereka rewel. Apalagi ketika menyentuh umur belasan tahun, anak-anak sudah mulai praktis dan pandai mengakses internet dan berselancar di media sosial. Tanpa pengawasan dan penyaringan konten yang sesuai, bukan hanya anak-anak, namun semua pengguna internet boleh jadi mendapat stimulus yang tidak baik dari konten-konten yang tersebar di internet.
Dari sekian banyak perilaku buruk yang dapat ditemukan dalam mengakses internet, titik pusat pembahasan kali ini adalah doomscrolling. Doomscrolling adalah sebuah istilah slang dalam kamus internet yang mengacu pada perilaku buruk pengguna internet dalam mengonsumsi konten-konten yang tersebar di internet yang mengarah pada persepsi negatifdan memberikan stimulus yang buruk bagi keadaan psikis pengguna tersebut (Price, 2022). Istilah ini awalnya
mengacu pada presepsi buruk pengguna internet setelah mencari informasi terkait pandemi. Namun, penggunaan istilah tersebut sekarang sudah lebih umum.
Menurut Dr. Unang Ahlison, Istilah ini kemudian pada pasca-pandemi digunakan untuk menggambarkan perilakuatau kecenderunganindividu untuk secara terus-menerus mencari berita-berita negatif, kebanyakan dari media sosial (Khoiriyah, 2020).Hal ini, menurut beberapa ilmuwan, mempengaruhi kondisi dan kesehatan mental pengguna internent yang melakukannya. Namun, kajian, studi literatur, dan sumber-sumber yang membahas mengenai korelasi kedua variabel tersebut masih terbatas. Beberapa menyebutkan hal ini ada kaitannya dengan peningkatan stres akut, di mana ketika seseorang secara terus menerus mengonsumsi berita-berita buruk, kecemasannya akan meningkat, sehingga berpengaruh pada tingkatan stres yang ia miliki.(Holman, Garfin, & Silver, 2014).
Lebih jauh, doomscrolling sudah menjadi kebiasaan pada banyak pengguna internet, terutama di waktu-waktu istirahat, yang juga menjadi waktu-waktu mereka untuk bermain media sosial. Berdasarkan data dari Survei Literasi Digital oleh Katadata Insight Center dan Kominfo (2021), waktu dengan pengakses media sosial paling banyak berada di rentang pukul tujuh hingga sembilan malam, yaitu sekitar 62,5% responden survei (Humaira, 2022). Waktu-waktu istirahat seperti ini, yang apabila digunakan untuk berselancar di media sosial, akan menaikkan kemungkinan doomscrolling.
Namun sebenarnya, apa yang membuat orang-orang melakukan atau bahkan menyenangi hal ini? Apabila kita melihat kembali ke masa-masa awal pandemi di mana informasi dan konspirasi begitu banyak bertebaran di internet, terutama media sosial, pengguna mencoba sebanyak mungkin untuk mencari berbagai macam literatur terkait pandemi tersebut, dengan tujuan untuk mendapat informasi yang baik mengenai hal itu, berharap kalau mereka akan merasa lebih tenang. Namun, bukannya mendapat kepuasan dan ketenangan, mereka malah menemukan informasi-informasi yang terkesan negatif dan buruk, sehingga yang mereka dapatkan adalah kecemasan dan kegelisahan, bahkan hingga tingkatan yang berlebih(Park, Ju, Ohs, & Hinsley, 2020). Hal ini baik secara langsung ataupun tidak, akan meningkatkan hormon stres yaitu kortisol, sehingga akan mempengaruhi bukan hanya kesehatan mental, namun juga kemampuan otak dan kesehatan fisik (Redaksi Halodoc, 2023).
Dalam segi kesehatan mental, perilaku doomscrolling akan menyebabkan kecemasan dan kegelisahan berlebih, kebingungan, rasa takut dan perasaan tertekan yang kemudian akan mempengaruhi pola kehidupan lainnya seperti kesulitan tidur, kualitas tidur yang menurun, kurangnya nafsu makan hingga ketidakinginan untuk menjalani hari (Watercutter, 2020). Â Hal ini kemudian berlanjut ke bagaimana pengaruh dari doomscrolling akan memengaruhi kehidupan sosialnya, yang akan kembali memengaruhi kesehatan mentaldoomscroller tersebut. Seperti, ketika kurang tidur atau kualitas tidur kurang baik, pastinya akan memengaruhi mood kita menjadi buruk di hari berikutnya(BetterHealth Channel, n.d.), yang pasti akan memengaruhi cara/perilaku komunikasikita dengan orang lain, sehingga boleh jadi interaksi yang ada akan membuat komunikan lainnya merasa tidak enak.