Di awal kemunculannya sebagai Capres 2014, Jokowi santer diisukan sebagai boneka Ketum PDIP, Megawati Soekarno Poetri. Sebagian orang lalu menganggap remeh Jokowi. Namun, sementara orang juga banyak yang menganggap isu itu tak lebih dari sekedar suara miring. Faktanya, Jokowi tetap kharismatik. Demikian pula dengan Prabowo. Kendati isu pelanggaran HAM menimpanya bertubi-tubi, ia tetap dieluk-elukkan pendukungnya. Pada akhirnya, seakan-akan sebuah pilihan itu hanya sekedar selera. Mungkin juga adanya kepentingan yang beragam.
Namun, rumor tentang raja boneka sebagaimana dialamatkan kepada Jokowi, sejatinya cukupmenarik dikupas lebih mendalam. Pasalnya, dalam sejarah bangsa ini isu raja boneka juga menimpa Sang Maha Prabu Hayam Wuruk. Raja besar Majapahit yang sukses menyatukan bumi Nusantara ini. Peradaban Majapahit, mengalami masa kejayaannya di zaman Hayam Wuruk itu.
Mafum diketahui, Nusantara ini adalah negeri yang besar dengan sejarah masa silam yang besar pula. Banyak kisah sejarah bisa dijadikan kaca benggala. Cermin untuk melihat ke dalam diri, agar bisa melangkah maju ke depan tanpa kehilangan jati diri. Sejaya-jayanya bangsa ini sekarang, tidak lebih jaya dari zaman emas Prabu Hayam Wuruk. Karena itu, peristiwa politik berkait kepemimpinan bangsa ini juga bisa mengambil pelajaran dari sejarah Majapahit.
Ada yang menganggap, Prabu Hayam Wuruk hanya raja boneka dari Sang Ratu Gayatri Sri Rajapatni. Anggapan itu tentu hanya sebuah tafsir sejarah. Pasalnya, adanya pendamping raja itu hampir bisa ditemukan pada setiap raja yang pernah berkuasa di Jawa. Di zaman kerajaan, seorang raja yang masih muda memang selalu didampingi oleh dewan kerajaan selama waktu tertentu. Pendampingnya adalah para tetua trah kerajaan. Di antaranya, mantan raja yang berkuasa.
Prabu Hayam Wuruk yang legendaris bersama patihnya Gadjah Mada, dilantik menjadi raja Majapahit pada usia 15 tahun. Maka, waktu itu Hayam Wuruk didampingi oleh raja sebelumnya sebagai dewan kerajaan. Pendampingan raja muda oleh raja tua atau para pangeran lain yang lebih tua dan para sesepuh kerajaan, merupakan sebuah tradisi dalam proses pendewasaan dan pendidikan politik bagi sang raja baru yang masih belia. Fakta sejarah itu yang barangkali membuat sebagian orang menganggap Hayam Wuruk sebagai raja boneka.
Bagaimana dengan Jokowi? Sebagai orang baru di jagat politik negeri ini, sekiranya wajar saja bila Jokowi ditempel terus oleh Megawati. Ini juga sebagai penguatan kharisma Jokowi sebagai Capres yang diusung dan ditetapkan sendiri oleh Megawati, dengan melampaui peta kaderisasi internal partai PDIP. Untuk menjawab kecurigaan Jokowi didikte atau dikendalikan oleh Megawati atau partai pengusungnya, sekiranya masyarakat tinggal melihat rekam jejak kinerja Jokowi ketika menjadi Walkota Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.
Di lain sisi, bukankah Capres dengan banyak koalisi partai pendukung juga bisa memunculkan kekhawatiran Capres itu adalah Capres Boneka? Sebab, pastilah partai koalisi juga memiliki arahan dan tuntutan reward karena sudah mendukungnya. Dengan kacamata bijak, sebenarnya semua kecurigaan itu hanya tergantung sudut pandang. Dan, berpikir positif selalu akan lebih menguntungkan bagi semuanya. (disarikan dari tabloidposmo).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H