Ngonten bagi sebagian orang adalah sarana ekspresi diri, sebab setiap orang membutuhkan pengakuan akan keberadaan atau eksistensi diri di kehidupannya.Â
Sebagian lainnya lagi memilih menjadi konten kreator sebagai pekerjaan. Sementara untuk yang lainnya, ngonten merupakan peluang guna memperoleh pendapatan. Tidak harus dalam ujud uang tapi dapat berupa barang atau kesempatan menikmati fasilitas tanpa harus membayar.
Dengan ngonten para konten kreator hampir pasti pernah mengalami ketiga hal tersebut. Namun tidak jarang pada titik tertentu para konten kreator mengalami kejenuhan. Bertanya pada diri sendiri dampak atau pengaruh apa dari konten-konten yang pernah diupload.Â
Apakah membawa perubahan cara berpikir dan bersikap pada seseorang ? Membuat orang tergerak untuk melakukan sesuatu ? Atau malah tidak merubah suatu apapun dari mereka yang pernah melihat konten-kontennya.
Sebagai pegiat media sosial yang tidak begitu banyak jumlah followersnya. Rasanya memiliki tantangan tersendiri dalam membuat konten kreatif dan berkualitas. Apalagi tidak mendapat followers secara instan dengan cara beli atau ikut-ikutan program saling follow dengan sesama pemilik akun.
Konon hal itu dapat meningkatkan jumlah followers, jumlah like serta viewer foto atau pemutaran video yang diupload. Boleh jadi memang benar. Tetapi apakah para konten kreator hanya mengejar tanda jempol atau hati ?Â
Jawabannya antara, ya dan tidak. Ukuran atau penilaian di media sosial boleh dikata sulit mencari ukuran atau pathokan. Sebab yang terlibat sulit untuk dikenali dan dipastikan, hal ini tidak lain  karena seseorang dapat memiliki satu atau lebih. Bahkan banyak akun, sehingga sangat memungkinkan memberi penilaian yang berbeda atau sama pada satu konten yang sama.Â
Belum lagi sangat bervariasi tingkat pengetahuan, pemahaman, pengalaman serta kedewasaan bersikap dari pemilik akun. Saat menanggapi terhadap sebuah konten, yang ada di media sosial.
Standar ukuran tidak jelas dan terlalu sederhana, karena hanya terwakili oleh ikon jempol atau hati. Nampaknya menyederhanakan kompleksitas sebuah peristiwa atau kejadian yang terekam dalam bentuk gambar atau foto.Â
Tujuannya tidak lain demi kecepatan respon atau reaksi. Sebagai  ukuran akan capaian sesuatu yang dianggap menarik. Menjadi  perhatian, sehingga trending, pusat pembicaraan atau rerasan di berbagai media sosial.
Apakah sebatas itu tujuan ngonten ? Apakah jumlah followers dan mendapat tanda suka sebagai ukuran keberhasilan sebuah konten ? Apakah performa berkualitas sebuah akun media sosial cukup dinilai dari banyaknya followers atau perolehan ikon ibu jari atau tanda hati ?
Pergeseran nilai sedang terjadi. Orientasi serta ukuran akan nilai-nilai berubah, sebagian orang kurang mampu mengendalikan diri. Sehingga cukup meresahkan sebab ukuran nilai sosial, kemanusiaan, moral atau etik serta estetis tidak lagi berpusat pada manusia namun pada handphone.Â
Walau di dalam handphone memuat dan menyajikan banyak informasi dan pengetahuan tentang yang baik dan buruk. Namun handphone kurang mampu untuk diajak melihat setiap persoalan secara komprehensif atau menyeluruh. Kemampuannya terbatas secara parsial atau sepotong-sepotong sesuai dengan panjang lebar layar atau tampilan.
Handphone telah mereduksi kemampuan manusia. Sebagaimana penilaian kualitas karya di media sosial cukup hanya dengan tanda ibu jari dan hati. Itulah yang menjadi salah satu alasan waktu itu untuk mengakhiri aktivitas upload atau ngonten. Disamping minimnya jumlah penonton yang memutar video dan memberi tanda  ibu jari atau tanda hati.Â
Kegundahan tersebut dipahami oleh seorang teman. Kemudian dia mempertanyakan kembali apa tujuan saya ngonten ?
Belum sempat saya menjawab, teman menjelaskan. Â Di dunia maya dengan netizen yang beragam usia, tingkat pemahaman, pengetahuan dan pengalaman. Membutuhkan informasi atau konten-konten penyeimbang. Konten yang mampu menyajikan sisi lain dari konten yang sedang banyak ditonton atau dikonsumsi oleh warga net saat ini. Sayangnya tidak sedikit konten tersebut salah, kurang tepat, tidak benar, tidak lengkap, tidak sesuai konteks dan tidak utuh runtutan peristiwa atau ceritanya.
Sontak pikiran ini seperti terbuka lagi. Dan teman melanjutkan ucapannya, saat ini banyak informasi yang kurang kredibel. Susah dipertanggungjawabkan kebenarannya, cenderung menyesatkan, mengumbar rasa tidak senang atau tidak suka. Lewat informasi jauh dari kata benar. Belum lagi dengan kata-kata kasar jauh dari kesantunan atau etiket berkomunikasi.
Diperlukan konten yang mampu meluruskan, melengkapi keterangan tentang berbagai informasi secara lengkap dan berimbang. Tujuannya agar mereka yang mengonsumsi berita, informasi lewat gambar atau film tersebut tidak terjebak dalam informasi atau berita yang salah dan tidak benar.
Saat ini terasa jika manusia tidak menjadi pusat nilai-nilai kehidupan sosial, budaya, religi, etika dan estetika. Pusat nilai bergeser di handphone.Â
Keprihatinan tersendiri saat tiga orang ibu dalam kesempatan yang berbeda bercerita bagaimana anak mereka, tidak lagi memiliki sikap santun saat berbicara dengan orang tuanya sendiri.Â
Suatu hari saya mendengar dan melihat sendiri bagaimana seorang anak mengeluarkan kata-kata tidak pantas dan cenderung berani kepada orangtuanya. Hal itu tidak lain karena pengaruh dan contoh  konten-konten yang kurang mendidik di media sosial.Â
Hal itu mendorong diri sendiri untuk membulatkan tekad  lanjut ngonten walau tidak selalu ada cuan atau keuntungan secara finansial. Sebab tidak sedikit konten yang menghasilkan cuan sangat minim nilai. Jikalau pun ada, nilainya adalah nilai konsumtif.
Boleh jadi saya terlalu berlebihan berharap banyak menjadikan handphone sebagai rumah yang nyaman dan aman saat melakukan aktivitas medsos. Sebab nyaman atau tidak sebuah perangkat modern tergantung siapa dan bagaimana orang dibaliknya.Â
Bagaimana menggunakan atau memanfaatkannya. Pepatah lama mengatakan, Man Behind The Gun. Izinkan saya memlesetkan menjadi Man Behind The Handphone. Jadi tatanan nilai-nilai sosial yang bergeser saat ini, bukan karena alatnya tetapi orangnya. Bukan handphonenya tetapi manusianya.Â
Demikian pula dengan penyedia jasa internet provider seperti IndiHome atau Indonesia Digital Home, bagian dari usaha  PT. Telkom Indonesia membuka kesempatan bagi anak-anak bangsa untuk melakukan aktivitas tanpa batas.
Supaya dapat berkonten ria bersama IndiHome secara bebas namun bertanggung jawab. Salah satunya dengan menjaga kontinuitas dalam meng-upload konten jika ingin terbaca oleh alogaritma mesin digital.Â
Jujur saya memiliki beberapa akun medsos, dua diantara yang cukup aktif di Instagram dengan akun www.instagram.com/koin1903 dan www.instagram.com/atawaatawi .Â
Tujuannya memberi warna pada isi konten di medsos supaya tidak didominasi oleh satu warna tertentu. Tetapi menjadi warna-warni sebagai penyeimbang atau balancing, pilihan atau alternatif lain. Sekaligus menunjukkan bahwa isi dunia termasuk hal yang maya, tidak sesungguhnya atau bayang-bayang. Terdapat kedalaman isi yang sarat nilai.
Sepertinya terlalu berlebihan tetapi tidak ada salahnya berusaha dan menjadi seperti garam, walau sedikit tetapi tetap mewarnai. Sebagaimana postingan aneka macam makanan di www.instagram.com/atawaatawi , bukan soal seputar makanan semata. Tetapi soal pesan-pesan dibalik setiap makanan dan minuman.
Seperti mengingatkan nilai kerendahan hati, kesederhanaan, menghargai proses atau usaha, tidak lupa akan sejarah atau asal usul, rasa syukur, bangga dengan apa yang dimiliki atau diperoleh.Â
Di meja makan tak jarang menemukan kejujuran, sebagaimana salah satu postingan yang menceritakan seorang suami telah diselingkuhi oleh isterinya salama 11 tahun. Atau cerita seorang duda yang merasa iba dengan pekerja seks komersial (PSK) namun sang duda takut untuk jatuh cinta.Â
Konten instagram @atawaatawi sederhana. Dibuat agar mudah menangkap cerita atau maksud. Namun bukan berarti segala sesuatu dapat diperlakukan dengan mudah dan simpel, sehingga cenderung menggampangkan. Memandang mudah dan remeh terhadap sesuatu.
Internet memungkinkan yang sulit dan susah menjadi mudah, yang rumit menjadi simpel. Namun yang mudah atau simpel tidak sepantasnya direndahkan atau diremehkan.Â
Sementara akun instagram lainnya  www.instagram.com/koin1903 isinya lebih variatif karena berisi aneka peristiwa atau fakta. Menyajikan sisi lain aktivitas kehidupan orang, mengenang masa lalu, mengagumi keindahan alam serta budaya, menangkap moment lucu polah hewan dan banyak lagi.
Tujuan ngonten tidak lepas dari upaya menjaga kesederhanaan bukan pamer karena pernah ada disitu tempat, dimana dan dengan apa atau siapa. Berkonten ria bersama Indihome bukan untuk pamer. Bukan pula untuk  mempertontonkan kekurangan. Namun untuk menjaga kewarasan nalar agar tetap kritis.
Ada kalanya perlu memperlihatkan kekurangan terkait layanan publik, seperti rusaknya sarana prasarana jalan. Agar mendapat perhatian guna segera diperbaiki atau dibenahi.
Ngonten bukan bermaksud mempermalukan tetapi bentuk kontrol. Wujud kepedulian, ujud cinta agar semua jadi lebih bai. Lebih salut lagi andai setiap tayangan konten kritis, disertai usulan atau solusi jalan keluar terhadap masalah terkait.Â
Siapa tahu konten tersebut menginspirasi bagi siapa saja yang melihat untuk menindaklanjuti dalam bentuk aksi atau kegiatan positif dan bermanfaat bagi banyak orang. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H