Pemerintah dan ahli pertanian serta peneliti pangan menyadari tidak mudah mendongkrak produk kedelai lokal. Walau dalam catatan sejarah, kita pernah mandiri mencukupi kebutuhan kedelai dengan kedelai produk petani lokal di tahun 1992 sampai 1995.
Ahli pertanian pasti memahami tidak semua daerah di Indonesia cocok ditanami kedelai. Apalagi mengingat tanaman ini merupakan tanaman subtropis, yang membutuhkan kelembaban tinggi. Keasaman netral dan drainase yang baik agar air dapat mengalir lancar.
Pemerintahan siapapun Presidennya bukannya tidak mengetahui permasalahan ini. Termasuk mengapa pemerintah menekan harga kedelai lokal dan mindset petani yang beranggapan kedelai belum menjadi tanaman penting atau utama, seperti padi.Â
Ini dapat dilihat dari pola atau rotasi tanam kedelai yang bergantian dengan tanaman lain. Apalagi luas lahan tanaman kedelai yang tidak sedikit sudah beralih fungsi. Sehingga dari tahun ke tahun produksi kedelai lokal terus menurun.
Sekali lagi akar masalah fluktuasi harga kedelai sudah diketahui. Namun sayangnya kebijakan pemerintah terkait lonjakan harga kedelai impor adakalanya reaktif.
Tengok saja ucapan pejabat yang memutuskan untuk menaikkan penanaman kedelai dengan harapan beberapa waktu kedepan, produksi kedelai lokal mencapai jumlah yang diinginkan. Tetapi, ada catatan jika tidak ada gangguan cuaca.
Ealah…, ilmu dan pengetahuan mestinya mampu mengantisipasi kemungkinan perubahan cuaca atau musim, yang semakin sulit diduga karena terkait perubahan iklim global.
Rencana penanaman, semestinya juga sudah memperhitungkan kemungkinan adanya gangguan cuaca. Jika kebijakan selalu reaktif maka jangan heran masalah keledai. Eh, kedelai akan terus berulang.
Saya dan teman, memang tidak berbicara sampai sejauh itu. Karena itu sudah menjadi kewajiban pemerintah dan para ahli ekonomi dan pertanian, untuk menyelesaikan masalah. Lewat keputusan strategis yang jitu dan efektif.