Mulut saya seperti terkunci dan menyesali pikiran buruk tentang kemampuan menyelesaikan pekerjaannya. Apakah bisa selesai secara sempurna? Saat pertama kali melihat cara berjalannya. Walau pada akhirnya memang benar apa yang saya pikirkan.
Saya seperti kehilangan kata-kata saat penambal ban ini bercerita, tanpa saya minta. Setelah sakit, istrinya pergi dan meninggalkannya entah kemana.Â
Saya heran karena ada perempuan di kiosnya, yang saya kira istrinya. Lalu siapa dia ? Jawaban penambal ban yang membuat lidah saya kelu untuk kesekian kalinya. "Itu ibu saya."
Usianya memang sudah tidak muda tetapi raut wajahnya boleh dikata seperti seumuran ibunya. Sungguh saya merasa bersalah dengan pikiran ini. Apa yang saya lihat tidak semua benar. Usianya ternyata masih jauh lebih muda daripada yang saya perkirakan.Â
Melihat dan mendengar cerita bapak penambal ban tersebut membuat saya tidak sampai hati menanyakan dimana ayahnya dan kenapa tinggal bersama ibunya di kios. Apalagi hari sudah cukup malam saat itu.
Dalam perjalanan pulang, di kepala saya berkecamuk tentang cinta seorang ibu. Tangguh dan sabarnya ibu ini menjaga dan menaruh harapan serta menyemangati anaknya dalam kondisi terpuruk. Walau hanya dalam bentuk kehadiran dengan cara menemani.Â
Bagaimana dengan  pikiran dan hatinya melihat derita anaknya ? Tak sampai hati saya menanyakan perasaan ibu itu melihat kondisi anaknya, waktu itu.
Tidak ada orang tua yang menginginkan nasib anaknya seperti, penambal ban tersebut. Sudah jatuh ditimpa tangga.Â
Sebelum hamil bisa jadi ibu dalam kios tadi berharap pada masa tuanya, masa dengan berbagai keterbatasan, ada yang menemani dan merawatnya.Â