Rasanya sulit untuk menemukan minuman beralkohol yang belum dikenal oleh orang. Bukan karena langka atau belum ada yang mengetahui tetapi minuman beralkohol yang ada umumnya sudah banyak dikenal. Bahkan ada upaya menyembunyikan dengan berbagai nama. Sampai menggunakan kedok sebagai minuman jamu, dengan tanda pethik.
Entah apa maksudnya, tetapi yang jelas jamu itu bukan obat. Jamu itu seperti minuman suplemen, penambah tenaga atau menjaga stamina. Bukan untuk menyembuhkan atau menghilangkan penyakit.
Minuman beralkohol (minol) jelas bukan jamu sesungguhnya yang biasa di jual di pinggir jalan di Yogya. Penjualnya juga bukan ibu-ibu usia paruh baya dengan jari tangan sedikit berwarna kekuning-kuningan. Akibat sering memeras kunyit atau kunir saat melayani pembeli.
Mereka yang menjual minuman "jamu" biasanya laki-laki dengan cara sembunyi-sembunyi dan dibuat sembunyi-sembunyi pula. Sebab minuman "jamu" ini mengandung alkohol yang kadarnya tidak jelas dan jika meminum secara berlebih mengakibatkan mabuk.Â
Salah satu alasan orang mencari minol adalah untuk mencari minuman yang cepat menghangatkan tubuh. Atau minuman yang dapat menjaga stamina tubuh walauh sudah diforsir oleh berbagai pekerjaan atau aktivitas.
Namun minol di Yogyakarta dikenal dengan nama Lapen. Namanya kini tidak lagi sepopuler dulu tetapi bukan berarti nama itu hilang. Sejumlah orang baik itu peminum aktif atau mantan peminum ketika disinggung nama Lapen menunjukkan rasa enggan. Baik lewat kata-kata yang tersirat atau gesture tubuh dan berusaha membuang muka saat saya menyebut nama minuman "jamu" tersebut.
Korban minol atau minuman oplosan, tidak hanya mereka yang berusia remaja, usia dimana mereka memiliki sifat ingin tahu yang besar. Tetapi juga orang dewasa yang semestinya sudah banyak makan asam garam. Eh, minum minuman beralkohol dengan kadar yang aman bagi tubuh.
Menurut catatan detik.com (10/2/2016) pada tahun itu korban tewas akibat minuman keras oplosan mencapai lebih dari 20 orang. Dengan rincian 24 orang meninggal usai minum minuman beralkohol yang tidak hanya membuat langsung pening di Caturtunggal, Depok, Sleman dan 4 orang lainnya di Godean dan Sayegan, Sleman. Ada yang langsung meninggal dan ada yang beberapa waktu kemudian.Â
Tradisi ngobrol ditemani makanan ringan dan minuman. Apakah minuman beralkohol atau tidak, mungkin sulit dihilangkan. Ngobrol di warung atau suatu tempat itu adalah salah satu cara orang bersosialisasi, menunjukkan harkatnya sebagai mahluk yang suka berkelompok.
Entah sebagai upaya melupakan berbagai peristiwa tragis tumbangnya para drunken master. Atau memang karena rasa takut kalah dengan dorongan ingin tahu dan menikmati sensasi.
Hadi mantan peminum menceritakan pengalaman saat minum bersama dalam sebuah lingkaran terdiri dari 6 sampai 10 orang. Minumnya bergilir, gelasnya diisi minol atau oplosan yang terbuat dari fermentasi anggur. Dicampur air fermentasi ketan hitam, minuman bersoda dan susu kental manis. Tapi yang jelas minuman ini bukan jenis es soda gembira.
Mereka yang merasa kepalanya berat, dapat membalikkan atau menelungkupkan gelasnya sebagai tanda sudah tidak kuat. Selama tidak dibalik, gelas akan terus diisi dan dianggap masih kuat minum.
Hadi, warga Yogya bercerita kecanduan minol atau miras karena ingin tahu dan ingin merasakan. Tetapi saat saya temui dirinya mengaku sudah bisa melepaskan diri dari kecanduan miras.
Awalnya dari rasa ingin tahu hingga akhirnya mencari sensasi langsung pening atau menthit. Istilah atau kata dalam bahasa Jawa yang menggambarkan keadaan atau sesuatu ada di suatu tempat yang sangat tinggi dan jauh. Hingga sesuatu itu hanya kelihatan satu titik di tempat yang sangat jauh atau tinggi.
Kemudian tiba-tiba merasa tidak berdaya atau jeglek. Istilah atau kata dalam bahasa Jawa yang menggambarkan keadaan atau sesuatu mati, diam atau jatuh secara tiba. Tidak mampu melakukan apapun. Mengangkat kepala, apalagi berdiri susah. Kondisi mabuk di mana pikiran yang membebani seolah hilang semua. Walau ketika sadar masalah-masalah hidup tetap menuntut untuk diselesaikan.
Minol bagi sebagian orang adalah pelarian untuk sejenak melupakan masalah walau pada akhirnya menurut Hadi dan Tanto malah menimbulkan masalah baru. Saat mabuk dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. "Saat saya mau pulang, saya mberangkang. Sebab tidak bisa berdiri," jelas Hadi.
Demikian pula penjelasan Tanto. Saat mabuk dirinya menjadi orang yang tidak berdaya. Namun sebelum mabuk dirinya mendapat sensasi yang luar biasa. "Bahkan dapat menyelesaikan pekerjaan yang bertumpuk," tambah Tanto.
Sensasi itu membuat dirinya bereksperimen menambah minol atau miras dengan berbagai bahan yang menurutnya sekarang sungguh "gila". "Beruntung nyawa saya tidak melayang atau mengalami cacat seperti kebutaan," jelasnya.
Tidak hanya dua atau tiga butir. Tetapi segenggaman langsung di masukkan ke mulut, kemudian digelontor dengan minuman berkadar alkohol yang diwadahi dalam botol gepeng.
"Lagaknya seperti jagoan dan bintang film di televisi atau iklan," kenang Tanto yang mensyukuri mampu melewati masa kelam hidupnya. Bersyukur sampai hari ini dirinya masih hidup walau kondisi kesehatannya tidak begitu fit seratus persen karena merasa mudah lelah.
Bagaimana dengan kebiasaan minum minol atau miras untuk menumbuhkan rasa percaya diri atau keberanian sebelum melakukan tindakan berbahaya atau kejahatan ?
Atau malah digelontor dengan banyak minol supaya banyak orang mabuk sehingga tidak berdaya. Baik secara fisik atau akal karena tidak mampu secara fisik dan membuat seseorang tidak dapat berpikir secara logisÂ
"Minuman beralkohol, miras atau sejenisnya. Itu hanya membuat orang goblok," tegas Tanto seperti menyadari kebodohannya dahulu. Tentu karena Tanto saat itu terjerat oleh keinginan mencapai menthit dalam waktu singkat. Kemudian jeglek dalam ketidakberdayaan. Seolah semua persoalan hilang sehingga membentuk kecanduan tingkat akut. Ingin mengulang lagi dan lagi.
Tetapi kembalikan pada diri sendiri. Apakah mampu mengendalikan jumlah minuman beralkohol yang masuk dalam tubuh ? Termasuk mengerti dan mengetahui berapa kadar alkohol dari minol yang diminumnya, sekaligus mengerti Lapen itu bukan Langsung Penak atau Langsung Enak.
Oleh karena itu mengapa otak terletak di atas di dalam pikiran. Tidak lain karena supaya bisa mengendalikan seluruh anggota badannya dengan dibantu hati nurani yang letaknya sedikit ke bawah di dalam tubuh. Tidak lain sebagai penasehat dan memberikan berbagai pertimbangan bagi akal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H