Manakala rasa manis sudah hilang dan mulut bosan atau capek mengunyah permen karet dibuang begitu saja. Adakalanya terinjak, mengotori sepatu atau sandal.Â
Ada yang membuang permen karet dengan cara menempelkan di pagar tempat ibadah, yang terbuat dari kayu, besi atau tembok. Lebih keterlaluan lagi ada umat yang menempelkan sisa permen karet di bawah bangku atau kursi di dalam rumah ibadahnya sendiri.
Kalau tidak salah baca, Singapura pernah mengeluarkan undang-undang atau peraturan yang melarang warganya membuang sisa permen karet sembarangan.Â
Tetapi masih sedikit yang menulis tentang permen karet. Saya bersedia menulis tentang permen karet kok. Apalagi jika dari perusahaan atau produsen permen. Wani piro ? Namanya juga karet, bisa tarik ulur.Â
Bukankah ini juga tulisan karet ? Bisa serius, bisa bercanda. Seperti karet yang lentur. Tapi satu pesan saya setelah baca tulisan ini, jangan ramai-ramai menjepret saya dengan karet gelang. Kalau ini saya sudah pernah merasakan.
"Sakit…"
"Sakitnya, tuh di sini." kata Cita Citata. Ah, semakin ngaret tulisan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H