Merasa nama baiknya dicemarkan ? Benarkah kita mahluk yang lahir dan hidup bebas dari pencemaran ? Benarkah kita lahir sebagai mahluk yang polos, seperti kertas tabularasa ?Â
Ah, semuanya bisa diperdebatkan. Bisa diliak-liukkan seperti karet tinggal darimana sudut pandang yang dipakai. Tergantung persepsi sejauh mana pengalaman intelektual seseorang mengembara, seberapa banyak buku sudah dibaca. Sudah bertemu dengan dan mengenal siapa saja, yang ikut membangun kemampuan menganalisa setiap persoalan. Baik yang dihadapinya sendiri atau yang terjadi di sekitarnya.
Jujur, tidak pura-pura, bersikap apa adanya. Tidak mudah berubah, tidak multitafsir dan tidak mudah meleng kanan ke kiri seperti karet yang gampang dibengkokkan kesana-kemari karena lentur.
Tahun 2016 terbit UU No 19 tentang Perubahan atas UU ITE tahun 2008 dorongan dari Presiden Jokowi di tahun 2015 mengajukan revisi kepada DPR.
Sebagaimana ditulis Kompas.com, Menteri Komunikasi dan Informatika kala itu, Rudiantara meyakini setelah revisi UU ITE ini tak akan ada lagi kriminalisasi kebebasan berpendapat.
Saya kutip kembali sumber berita dari Kompas.com pernyataan Donny Gahral Adian, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian menyebut, wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dilontarkan Presiden Joko Widodo karena gaduhnya sosial media.
"Presiden kan merasa gundah melihat bagaimana dengan UU ITE ini ada saling adu di masyarakat, saling mengadukan, sedikit-sedikit mengadukan. Jadi media sosial kita menjadi gaduh," kata Donny kepada Kompas.com, Rabu (17/2/2021).
Menurut Donny, akibat UU ITE, banyak orang yang sebenarnya merupakan korban dan tidak bersalah justru dilaporkan.