Hakekat relasi manusia itu terletak pada perjumpaan. Tanpa pertemuan atau perjumpaan, seseorang tidak dapat mengembangkan dirinya sebagai mahluk yang bermartabat dan beradab. Nilai kemanusiaan dirinya, dapat dipahami dan dimengerti manakala terdapat singgungan antar sesamanya.
Orang lain adalah cermin sekaligus ukuran akan nilai-nilai dan banyak hal. Baik yang bersifat rasional, empirik atau pengalaman, termasuk yang irasional. Tidak hanya terkait soal akal budi tetapi berhubungan juga dengan  perasaan, hati dan nurani.
Manakala perjumpaan dan pertemuan mengalami batasan oleh berbagai faktor seperti geografis, ekonomi, sosial politik. Maka akan muncul sikap saling curiga, iri atau cemburu dan penuh prasangka yang tidak membangun pada sebuah relasi yang baik.
Sebagaimana yang kita alami saat awal merebaknya pandemi Covid-19. Batasan protokol kesehatan membuat orang mudah curiga dan tidak mudah percaya antara satu dengan yang lainnya. Setiap orang berusaha menjaga jarak dengan orang-orang yang dikenal maupun tidak dikenal.
Kondisi dan situasi membuat mereka mesti berjarak. Bukan dalam ukuran puluhan meter tetapi sampai ribuan kilometer. Dipisahkan oleh gunung dan lautan. LDR atau hubungan jarak jauh, menjadi pilihan yang tidak terelakkan.Â
Masa pandemi Covid-19 menyadarkan kita untuk belajar menghargai pengorbanan dan perjuangan para Tenaga Kerja Indonesia atau TKI, yang sudah menjalani LDR dengan kekasih dan keluarga. Lama, jauh sebelum Covid-19 merebak.Â
Pengalaman para TKI yang meninggalkan keluarga atau kekasih. Dapat menjadi bahan renungan dan pembelajaran bagi siapa saja yang saat ini menjalani LDR.
Manakala perjumpaan atau pertemuan semakin jarang, seseorang apapun statusnya. Sebagai suami, istri atau kekasih bahkan sebagai anak. Akan berusaha mencari pertemuan atau perjumpaan dengan orang lain. Acapkali mengesampingkan perbedaan.