Mengkritik itu bukan aktivitas asal bicara lewat bahasa lisan atau tulisan ke media massa, media sosial atau forum terbuka. Adakalanya kritikan perlu disampaikan dalam kesunyian kepada pihak-pihak tertentu, tanpa harus mengurangi esensi isi kritikan.
Menjadi pengkritik sesungguhnya tidak mudah. Jangan heran jika ada sebagian orang yang memberi kritikan lewat media kemudian dijerat oleh beberapa pasal dalam UU yang berlaku.Â
Kemudian nyinyir ke aparat, menilai pemerintah tidak demokratis. Ini tidak lain karena rendahnya kesadaran dan pemahaman bagaimana memberi kritikan bersifat membangun.
Baru di polisikan sudah cengeng dan lebay, penampilan atau ujarannya tidak segarang saat mengkritik. Kepala selalu tertunduk, sesekali menampakkan muka melas kepada wartawan. Baik didampingi pengacara atau tidak.
Mereka mengkritik pemerintahan saat itu berdasarkan pada fakta, realitas lewat pengalaman dan data. Sementara saat ini, tidak sedikit pengritik hanya bermodalkan rasa tidak suka dan tidak setuju tanpa alasan dan sebab yang jelas dan kuat.Â
Asal ucap dan tulis lewat media sosial tanpa didukung fakta serta data. Tanpa konfirmasi dan mencari kejelasan informasi ke pihak yang dikritik, untuk memperoleh kedalaman masalah agar kritik yang disampaikan. Jelas maksud dan tujuannya.
Contoh kritik terhadap pemerintah itu, seperti ini
Pengritik itu harus memiliki sifat kritis. Jangan menjadi pengritik jika hanya berdasarkan pada informasi "katanya". Apalagi menurut kata sumber yang tidak jelas dan kurang dapat dipercaya apa yang disampaikan.
Seorang pengritik yang baik memiliki cara berpikir luas dan komprehensif. Didukung kemampuan analisis yang baik terhadap sebuah persoalan bahkan tidak jarang didukung dengan data. Fakta itu utama.
Saat memberikan kritikan, pengritik menyampaikannya secara sistematis sehingga mudah dipahami oleh pihak yang dikritik. Ditambah dengan cara yang santun dalam menyampaikan. Apakah lewat ucapan atau dalam bentuk tulisan.