Ada pepatah Jawa yang mengatakan, "Esuk dhele sore tempe." Artinya pagi dhele sore tempe. Sebuah pesan atau sindiran yang menggambarkan ketidakpastian situasi atau lebih tepat penilaian bagi seseorang yang tidak memiliki pendirian. Omongannya selalu berubah-ubah.
Secara filosofis pepatah itu memberi arti dalam terkait  proses perubahan yang cepat. Sebagaimana yang terjadi pada kedelai berubah jadi tempe.Â
Walau perubahan kedelai menjadi tempe boleh dikata tidak begitu drastis. Sebab wujud kedelai masih dapat dilihat dan dirasakan di tempe.
Apakah tempenya digoreng, dibacem, dijadikan sayur atau dipenyet menjadi menu tempe penyet plus sambal lengkap dengan lele, daging ayam, telur atau tahu. Semuanya mengundang selera dan masih berselera tempe.
Manakala harga daging ayam atau daging sapi serta telur merangkak naik atau sampai melambung tinggi. Bukan menjadi masalah serius bagi masyarakat yang perlu asupan protein dalam setiap makanannya.Â
Bentuk atau tampilan serta sajian di meja makanan dibuat sedemikian rupa. Dapat mengelabui mata, seolah-olah seperti daging. Dengan kandungan protein yang tidak kalah jauh berbeda. Tetapi dari segi harga, sate tempe jelas lebih murah.Â
Manakala harga daging sapi atau ayam naik demikian juga dengan telur. Masyarakat menengah ke bawah tidak begitu terasa imbasnya. Warung makan atau industri rumahan yang terbiasa mengandalkan menu dari bahan daging dan telur mungkin yang langsung terdampak.
Bagi warung makan kelas menengah ke bawah yang menjadikan daging dan telur ayam sekedar pelengkap jelas tidak begitu terpengaruh.Â
Sebab andalan lauknya tempe, tahu, bakwan atau kerupuk. Sementara telur puyuh, sate usus ayam menu yang sedikit istimewa. Kebutuhan unsur protein sudah terpenuhi dari kacang-kacangan.Â
Sekali lagi kebutuhan protein itu tidak hanya bersumber dari daging sapi, ayam, kambing atau telur. Padahal masih ada ikan yang dapat menjadi sumber protein. Dengan luasnya lautan yang dimiliki oleh Indonesia, tidak semestinya khawatir dan cemas kekurangan kebutuhan protein.
Tetapi mengapa saat menggalakkan malah tidak berjalan sesuai harapan dan rencana. Siapapun menteri atau presidennya.
Tengok mengapa para vegetarian mampu menjaga stamina tubuhnya, termasuk dalam memenuhi kebutuhan unsur protein lewat sayuran atau buah yang tidak sedikit mengandung protein.Â
Budidaya ikan air tawar cukup mudah. Seperti lele, nila atau gurame. Ikan pindang mudah ditemui dan harganya murah. Atau ikan wadher yang banyak ditemui di sungai. Dapat dijadikan peyek wadher goreng tepung, merupakan sumber protein dan lauk yang nikmat saat makan. Ssst…,buat cemilan juga enak. Apalagi yang kecil-kecil. Adakalanya ikan yang ukurannya lebih kecil harganya malah lebih mahal.
Demikian pula dengan kupat tahu atau tahu kupat, walau bumbunya kecap tetap ada unsur protein. Selain tahu ada campuran tempenya juga. Menjadi lebih nikmat jika disertai dengan keripik tempe yang tipis dan renyah. Sensasinya, wuiiiii….
Tetapi yang perlu dikhawatirkan manakala harga kedelai naik. Sebab dampaknya lebih terasa dibandingkan dengan kenaikkan harga daging dan telur.Â
Caranya membuat ukuran tempe atau tahu lebih kecil dan tipis. Mereka sebenarnya orang atau pihak-pihak yang secara tidak langsung menjaga ketahanan pangan. Lewat menu tradisional.Â
Tengok sejenak berapa banyak menu jaman dulu yang terbuat dari sayuran seperti daun talas, kelor dan kangkung kembali jadi trend oleh kreativitas para pengelola warung. Serta peran pencinta kuliner makanan tradisional, yang mempromosikan kembali lewat media sosial.
Bahkan ada yang secara khusus membuat sate petai. Silahkan cari kandungan protein dalam pete atau petai di internet. So, don't worry masih ada sate petai dan tempe, ikan dan beberapa sayur yang dapat memenuhi kebutuhan unsur protein tubuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H