Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia krn tak sedikit yg berat beban hidupnya

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kenalkan Teman Saya Namanya, Hujan

5 Januari 2021   12:15 Diperbarui: 5 Januari 2021   12:16 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hujan deras di kota (foto:ko in)

Terkadang merasa jengkel mendengar orang mengeluh manakala hujan turun. Baik yang terjadi hanya beberapa saat atau yang  berlangsung beberapa hari dan tidak di jam yang sama. Apakah itu hanya rintik-rintik air atau hujan deras.

Kemana rasa syukur dan terima kasih kepada hujan dan kepadaNya yang sudah mengatur sedemikian rupa agar sebagian bumi dibasahi oleh hujan. Oleh es atau oleh air laut pasang. 

Sebegitu egoisnya kita, sehingga mudah mengeluh dan menggerundel dengan berbagai kata yang jelas terucap atau tidak jelas. Atau diam-diam malah mengumpat dalam hati karena hujan.

Musim hujan belum lama berlangsung. Kekesalan orang dengan cuaca panas juga tidak lepas dari mulutnya. Walau itu mungkin sekedar selorohan ringan, sebagai penghibur hati atau basa-basi saat ngobrol bertemu dengan orang lain.

Manakala kemarau berlangsung panjang atau lama, orang berharap kapan hujan datang. Tetapi saat hujan turun baru beberapa menit, tidak sedikit yang beharap supaya segera berhenti. Agar dapat meneruskan aktivitasnya.

Hujan deras di kota (foto:ko in)
Hujan deras di kota (foto:ko in)
"Apa sih mau manusia sebenarnya ?" Demikian pertanyaan hujan. Andai hujan bisa berkata-kata. Bukankah hujan itu berkat ? 

Waktunya tanam padi bagi para petani yang tidak sedikit jumlahnya di daerah Sleman dan Bantul Yogyakarta. Waktunya mendengar mesin traktor, mebolak-balik tanah yang akan di tanami padi. Sungguh beruntung saya masih bisa menikmati pemandangan saat kerbau berjalan mondar-mandir di tanah berlumpur. Sebelum digantikan oleh "kerbau bermesin". 

Hujan adalah waktunya bagi pohon, bukan hanya untuk trubus. Mengeluarkan pucuk-pucuk daun baru atau tunas-tunas baru. Tetapi juga waktunya mengikat air dan menyimpannya ke dalam tanah. 

Air hujan di atas daun (foto:ko in)
Air hujan di atas daun (foto:ko in)
Maksudnya pohon dan tanaman, mungkin untuk berjaga-jaga jika musim kemarau tiba. Tetapi tidak sedikit orang yang ikut mengambil air permukaan yang disimpan pohon dengan teknologi sederhana, untuk kebutuhan seperlunya sehari-hari. 

Dari menimba air di sumur, mengambil air dekat sendang atau sumber mata air dekat pohon-pohon besar. Atau dengan mengalirkan air dari mata air lewat pipa-pipa kecil bernama paralon ke rumah-rumah untuk kebutuhan sehari-hari. Panjangnya bisa mencapai 3 kilometer.

Atau membiarkan air mengalir begitu saja menjadi aliran sungai kecil, supaya dapat mengairi sawah petani saat hujan tidak turun. Termasuk beberapa tetangga yang sengaja membiarkan air terbuka di rumahnya sampai berjam-jam karena jika ditutup sambungan pipa paralon dengan berbagai ukuran bisa lepas, karena sengaja tidak di lem.

(foto:arafuru.com)
(foto:arafuru.com)
Maksudnya untuk memudahkan merunut dimana paralon tersebut lepas atau buntu. Karena terisi kotoran seperti daun, pasir atau kerikil. Tidak mudah karena paralon itu melewati tebing sungai, di dalam saluran irigasi, kebun dan pekarangan yang cukup luas. Perlu diketahui laju air dalam paralon tersebut cukup deras walau tidak menggunakan alat penyedot air. Hanya memanfaatkan gaya gravitasi dan kemiringan tanah.

Desa saya letaknya, jauh dari lereng gunung Merapi dan jauh dari sumber mata air yang diambil. Maka debat atau laju air tidak kalah dengan laju air yang digerakkan mesin pompa air.

Awalnya saya tinggal di desa berpikir, kenapa warga tidak hemat air dengan membiarkan paralon air di depan rumah atau kamar mandi dibiarkan mengalir. Ternyata hal itu memang disengaja biar air tersebut mengalir lewat tanah dan menemukan sendiri jalannya.

Jalan kemana ? Ternyata jalan ke dalam tanah dekat kebun, pekarangan atau menemukan jalan ke saluran irigasi sawah-sawah yang letaknya tidak jauh dari rumah. Maklum airnya bening dan bersih.

Hujan di kota, kemana air mengalir? (Foto:ko in)
Hujan di kota, kemana air mengalir? (Foto:ko in)
Cara ini termasuk menghambat laju air supaya tidak cepat mengalir atau sampai ke sungai Boyong. Sungai yang satu aliran dengan kali Code, yang letaknya tidak jauh dari Malioboro. Cara sederhana agar air melakukan perjalanan dari dalam tanah, sehingga bisa mengisi sumur-sumur warga Yogya yang tinggal di kota. Bayangkan jika di desa, jalan sudah dipenuhi aspal, semen atau conblock.

Tapi sebagian orang, ada yang dengan rakusnya mengambil air tanah dari kedalaman bumi yang paling dalam. Untuk keperluan berbagai kegiatan industri. Sehingga tanpa disadari atau mengetahui.

Tetapi kurang peduli, sehingga membentuk rongga di dalam bumi. Tinggal menunggu waktu, kapan tanah ambles ke dalam bumi. Atau air laut yang diam-diam secara perlahan, tapi pasti. Berusaha mengisi rongga-rongga itu. Seperti terjadi di kota-kota besar.

Kolam sekaligus penampungan air hujan di desa(foto:ko in)
Kolam sekaligus penampungan air hujan di desa(foto:ko in)
Termasuk industri di hilir sehingga membuat perjalanan air tanah butuh waktu tempuh yang lebih lama. Sudah tahu berapa lama waktu perjalanan normal air tanah yang bersumber dari air hujan. Dari sekitar gunung Merapi sampai ke kota Yogyakarta yang jaraknya sekitar 30 km ?

Menurut ahli dari badan lingkungan hidup pemerintah yang sempat bercerita ke saya. Perlu waktu tempuh sekitar 25 tahun untuk sampai ke Yogya. Hal ini sering saya sampaikan dalam sebuah obrolan atau tulisan agar kita bisa lebih menghargai air hujan.

Tapi hujan sering membuat banjir. Jangan salahkan hujan. Kecuali hujan deras 40 hari lamanya. Seperti saat zaman nabi Nuh. Itu pun karena kebebalan dan kesalahan manusia. 

Merapi (foto: ko in)
Merapi (foto: ko in)
Saat hujan deras terjadi di sekitar lereng Merapi dan desa saya, warna air jadi keruh. Itu wajar termasuk warna air sumur saya, tidak jernih. Terlihat seperti buram,maklum akar-akar pohon tidak sedikit yang lewat dekat sumur saya dan jadi perantara masuknya air hujan. Begitulah hidup dengan alam. 

Yang jelas sikap waspada di musim hujan mesti kita miliki walau di Yogya jarang banjir. Kalau banjir biasanya karena kesalahan dalam membuat serta mengatur saluran irigasi. 

Apalagi di desa saya di kaki Merapi jarang banjir. Awal tahun 2021 dalam menghadapi musim hujan 2021. Bukan hujan. Tetapi mewaspadai dahan atau pohon-pohon yang tumbang.

Jika sampai terjadi, siap-siap listrik padam untuk beberapa jam termasuk tidak ada koneksi internet. Tapi jika terjadi bencana angin puting beliung yang menumbangkan banyak pohon di beberapa kelurahan atau beberapa kecamatan siap siap jadi "manusia purba" untuk beberapa hari ke depan. 

(foto:Suara Jogja.id dok BNPB/BPBD DIY)
(foto:Suara Jogja.id dok BNPB/BPBD DIY)
Namanya juga hidup dengan alam, termasuk hujan. Bukankah dia teman ? Kalau sampai banjir, jangan salahkan teman saya. Hujan. Salahkan diri kita sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun