
Desa saya letaknya, jauh dari lereng gunung Merapi dan jauh dari sumber mata air yang diambil. Maka debat atau laju air tidak kalah dengan laju air yang digerakkan mesin pompa air.
Awalnya saya tinggal di desa berpikir, kenapa warga tidak hemat air dengan membiarkan paralon air di depan rumah atau kamar mandi dibiarkan mengalir. Ternyata hal itu memang disengaja biar air tersebut mengalir lewat tanah dan menemukan sendiri jalannya.
Jalan kemana ? Ternyata jalan ke dalam tanah dekat kebun, pekarangan atau menemukan jalan ke saluran irigasi sawah-sawah yang letaknya tidak jauh dari rumah. Maklum airnya bening dan bersih.

Tapi sebagian orang, ada yang dengan rakusnya mengambil air tanah dari kedalaman bumi yang paling dalam. Untuk keperluan berbagai kegiatan industri. Sehingga tanpa disadari atau mengetahui.
Tetapi kurang peduli, sehingga membentuk rongga di dalam bumi. Tinggal menunggu waktu, kapan tanah ambles ke dalam bumi. Atau air laut yang diam-diam secara perlahan, tapi pasti. Berusaha mengisi rongga-rongga itu. Seperti terjadi di kota-kota besar.

Menurut ahli dari badan lingkungan hidup pemerintah yang sempat bercerita ke saya. Perlu waktu tempuh sekitar 25 tahun untuk sampai ke Yogya. Hal ini sering saya sampaikan dalam sebuah obrolan atau tulisan agar kita bisa lebih menghargai air hujan.
Tapi hujan sering membuat banjir. Jangan salahkan hujan. Kecuali hujan deras 40 hari lamanya. Seperti saat zaman nabi Nuh. Itu pun karena kebebalan dan kesalahan manusia.Â
