Maksudnya untuk memudahkan merunut dimana paralon tersebut lepas atau buntu. Karena terisi kotoran seperti daun, pasir atau kerikil. Tidak mudah karena paralon itu melewati tebing sungai, di dalam saluran irigasi, kebun dan pekarangan yang cukup luas. Perlu diketahui laju air dalam paralon tersebut cukup deras walau tidak menggunakan alat penyedot air. Hanya memanfaatkan gaya gravitasi dan kemiringan tanah.
Desa saya letaknya, jauh dari lereng gunung Merapi dan jauh dari sumber mata air yang diambil. Maka debat atau laju air tidak kalah dengan laju air yang digerakkan mesin pompa air.
Awalnya saya tinggal di desa berpikir, kenapa warga tidak hemat air dengan membiarkan paralon air di depan rumah atau kamar mandi dibiarkan mengalir. Ternyata hal itu memang disengaja biar air tersebut mengalir lewat tanah dan menemukan sendiri jalannya.
Jalan kemana ? Ternyata jalan ke dalam tanah dekat kebun, pekarangan atau menemukan jalan ke saluran irigasi sawah-sawah yang letaknya tidak jauh dari rumah. Maklum airnya bening dan bersih.
Hujan di kota, kemana air mengalir? (Foto:ko in)
Cara ini termasuk menghambat laju air supaya tidak cepat mengalir atau sampai ke sungai Boyong. Sungai yang satu aliran dengan kali Code, yang letaknya tidak jauh dari Malioboro. Cara sederhana agar air melakukan perjalanan dari dalam tanah, sehingga bisa mengisi sumur-sumur warga Yogya yang tinggal di kota. Bayangkan jika di desa, jalan sudah dipenuhi aspal, semen atau
conblock.
Tapi sebagian orang, ada yang dengan rakusnya mengambil air tanah dari kedalaman bumi yang paling dalam. Untuk keperluan berbagai kegiatan industri. Sehingga tanpa disadari atau mengetahui.
Tetapi kurang peduli, sehingga membentuk rongga di dalam bumi. Tinggal menunggu waktu, kapan tanah ambles ke dalam bumi. Atau air laut yang diam-diam secara perlahan, tapi pasti. Berusaha mengisi rongga-rongga itu. Seperti terjadi di kota-kota besar.
Kolam sekaligus penampungan air hujan di desa(foto:ko in)
Termasuk industri di hilir sehingga membuat perjalanan air tanah butuh waktu tempuh yang lebih lama. Sudah tahu berapa lama waktu perjalanan normal air tanah yang bersumber dari air hujan. Dari sekitar gunung Merapi sampai ke kota Yogyakarta yang jaraknya sekitar 30 km ?
Menurut ahli dari badan lingkungan hidup pemerintah yang sempat bercerita ke saya. Perlu waktu tempuh sekitar 25 tahun untuk sampai ke Yogya. Hal ini sering saya sampaikan dalam sebuah obrolan atau tulisan agar kita bisa lebih menghargai air hujan.
Tapi hujan sering membuat banjir. Jangan salahkan hujan. Kecuali hujan deras 40 hari lamanya. Seperti saat zaman nabi Nuh. Itu pun karena kebebalan dan kesalahan manusia.Â
Saat hujan deras terjadi di sekitar lereng Merapi dan desa saya, warna air jadi keruh. Itu wajar termasuk warna air sumur saya, tidak jernih. Terlihat seperti buram,maklum akar-akar pohon tidak sedikit yang lewat dekat sumur saya dan jadi perantara masuknya air hujan. Begitulah hidup dengan alam.Â
Lihat Pendidikan Selengkapnya