Sudah lupa saat umur berapa saya diajari ibu cara memasak nasi tim. Cara paling sederhana dan mudah. Tidak repot dan tidak pula membingungkan. Tinggal ambil beras sesuai takaran yang dikehendaki atau diinginkan. Ibu biasanya berpesan, "Tiga kaleng, saja. Rata, Ndak usah muncup-muncup."
"Dicuci bersih kemudian masukkan panci yang biasa untuk ngetim. Kasih air sampai berasnya terendam semua. Kira-kira setinggi garis pertama jari telunjukmu. Terus masukkan ke panci besar yang biasa untuk masak air. Jangan lupa diisi air satu ciduk," jelas ibu. Sampai saya hafal hingga saat ini.
Tiga kaleng, maksudnya kaleng bekas susu kental manis yang dijadikan alat ukur dan menciduk beras. Pesan itu tidak lain ibu sampaikan, setiap kali akan meninggalkan rumah siang atau sore hari karena ada arisan atau kegiatan lain. Ibu selalu mengulang pesan yang sama ke saya, jika tidak sempat menanak nasi.
Sebagai hadiah, karena sudah masak nasi tim, ibu membawa lauk yang sedikit istimewa dari biasanya. Bagi sebagian orang, pesan ibu untuk memasak nasi tim sebuah peristiwa biasa dan tanpa makna atau nilai. Tetapi dibalik alasan ibu menyuruh saya masak nasi terdapat nilai yang sampai saat ini saya jalankan.
Pernah suatu kali saya lupa karena keasyikan ditinggal nonton televisi. Walau ruangan nonton televisi dan dapur tidak begitu jauh. Gara-garanya volume suara televisi terlalu keras sehingga lupa jika sedang masak nasi tim.Â
Salah satu tanda nasi belum masak terdengar dari bunyi air, "Blegedug...Blegedug...Blegedug…." atau suara "Tek...Tek...Tek," tutup panci menandakan air masih cukup. Jika sudah tidak terdengar itu pertanda nasi hampir atau sudah masak. Airnya hampir habis dan waktunya mematikan kompor. Â
Namun waktu itu penandanya bau gosong. Awalnya tidak sadar jika bau itu bersumber dari dapur dan masakan nasi tim. Pikir saya masakan tetangga gosong dan masih setia di depan televisi.Â
Saat ibu pulang dan melihat nasi tim di atas meja. Ibu langsung mengatakan, "Gosong, ya…". Saya pun hanya terdiam siap-siap menerima amarahnya. Namun saat itu saya heran ibu tidak marah malah membawakan lauk daging empal sapi kesukaan saya, untuk dimakan.
Ibu sekolah pertamaku termasuk melatih saya memasak nasi tim. Latihan atau ajaran tersebut ternyata sarat nilai, yang bermanfaat bagi bekal dalam mengarungi kehidupan yang begitu luas dan kompleks. Bagai sebuah filosofi, memasak nasi tim itu ternyata sarat makna atau nilai. Termasuk bagaimana menyikapi nasi tim gosong.
Filosofi Nasi Tim
Pertama, ibu mengajarkan pentingnya arti tanggungjawab. Walau lewat masak nasi tim, saya diberi tanggungjawab untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan tersebut dengan benar. Sebab nasi tim tersebut dibuat untuk seluruh anggota keluarga termasuk ayah dan saudara. Jika tidak bertanggung jawab tentu anggota keluarga lain akan kesal atau marah karena sesampai di rumah tidak ada nasi untuk dimakan. Walau memasak adalah tanggung jawab ibu tetapi ibu membagi tanggung jawab tersebut kepada saya. Sebagai bentuk latihan bagaimana memenuhi rasa tanggung jawab dalam keluarga.
Kedua, ibu mengajari saya pentingnya nilai perhatian. Caranya dengan sering-sering melihat air dalam masakan nasi tim, jangan sampai "asat" atau habis. Bolak-balik ke dapur, buka tutup panci menjadi sering saya lakukan setelah peristiwa nasi tim gosong. Tidak hanya mempercayakan suara tutup panci tetapi harus dipastikan seberapa banyak air masih tersisa. Dengan perhatian tersebut intinya juga menghindari faktor lupa karena terlalu asyik dengan kegiatan lain seperti nonton televisi atau bermain.
Ketiga, ibu mengajari saya arti dan sekaligus memberi contoh bagaimana memaafkan. Nasi tim gosong adalah bukti yang tak terbantahkan bagaimana saya belum bertanggungjawab dan memberi perhatian pada tugas yang diberikan. Namun ibu tidak berlanjut mempermasalahkan atau mempersoalkannya.
Perhatian dan tanggung jawab, dua nilai yang dapat dipelajari karena dalam interaksi sosial dengan sesama, kedua hal yang tidak boleh dianggap remeh jika ingin dihargai. Sekaligus mendapat nilai kualitas pribadi yang baik dari orang-orang di sekitarnya.
Namun nilai ketiga, ajaran memaafkan paling tidak mudah untuk dilakukan, walau sudah beranjak dewasa. Barangkali mulut telah berkali-kali mengatakan memaafkan, tetapi bagaimana dengan hati. Tidak sedikit orang mengakui tidak mudah untuk memberi pengampunan apalagi kepada mereka yang pernah membuat diri sakit hati, kecewa, merasa dikhianati dan ditipu.Â
Padahal memberi ampun atau maaf memiliki manfaat bagi kesehatan. Ijinkan saya mengutip tulisan seorang bijak dari Argentina yang mengatakan pengampunan sangat penting bagi kesehatan emosional dan kelangsungan hidup spiritual.
Lebih lanjut disebutkan, pengampunan atau memaafkan memiliki arti penting dalam sebuah keluarga. Tanpa pengampunan, keluarga menjadi tempat konflik dan direduksi menjadi tempat saling menghakimi. Tanpa pengampunan, keluarga menjadi sakit. Pengampunan adalah pemulihan jiwa, pembersihan pikiran dan pembebasan hati. Siapapun yang tak mampu mengampuni tak memiliki kedamaian dalam jiwanya.
Memanggil "Ibu…" selalu saya lontarkan setiap kali sesampai di rumah, sambil mencari keberadaannya. Entah kebiasaan atau naluri seorang anak yang selalu rindu padanya. Karena dalam dirinya selalu ada kasih, cinta dan maaf atau ampunan. Walau beberapa kali saya melakukan kesalahan, masak nasi tim gosong. Lebih dari tiga kali, itu seingat saya.
Dan berapakali ibu memaafkan kesalahan kita sampai hari ini ? Tak terhitung banyaknya.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H