Menyusuri kawasan Malioboro sore itu, selalu menjumpai hal-hal menarik. Salah satunya mendengar lagu-lagu dangdut dari salah satu penyandang difabel yang biasa mangkal di depan salah satu hotel di Yogyakarta.
Suaranya memang tidak semerdu suara penyanyi profesional tetapi dapat dipastikan lebih merdu daripada suara saya, yang hanya terdengar merdu saat di kamar mandi
Beberapa waktu lalu jalan Malioboro ditutup, sebagai langkah uji coba penerapan kawasan Malioboro bebas dari kendaraan bermotor. Hanya sesekali bus Transjogja lewat, sehingga suara nyanyian laki-laki ini, menjadi lebih jelas terdengar. Manakala menikmati Malioboro sore hari dengan berjalan kaki dan tidak terganggu suara mesin kendaraan.
Apalagi ditambah dengan pengeras suara atau salon yang tingginya sekitar 75 - 80 cm, lengkap dengan roda dibawanya dari rumah. Untuk berkaraoke di Malioboro. Menjadikan suaranya semakin jelas terdengar tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga.
Namanya Ardi, berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sudah 15 tahun tinggal di Yogya. Ketika saya tanya namanya lengkap, dia menjawab "Ardi saja." Ditambah senyum dan wajah tetap lurus ke depan walau saya beberapa kali pindah posisi berdiri. Ardi adalah difabel yang sejak umur 2 tahun matanya tidak dapat berfungsi sebagaimana orang umumnya.
Menurut cerita orang tuanya, saat masih di Lombok. Ardi terkena campak yang mengakibatkan kebutaan. Ardi sendiri tidak dapat mengingat secara pasti sakit yang diderita waktu itu. Tapi yang jelas, 15 tahun lalu Ardi menginjakkan kaki di Yogya untuk mengadu nasib. Dengan kemampuan olah suara yang dimiliki, setiap hari ngamen dari toko ke toko di Malioboro.
Tetapi bagi Ardi, warna-warni indahnya lampu yang menghiasi Malioboro tidak lebih sekedar warna hitam dan putih. Tidak ada yang lain. "Matahari atau lampu cuma nampak putih sementara orang seperti bayangan hitam," jelas Ardi yang beristrikan penyandang difabel juga. Tetapi istrinya, masih sedikit dapat melihat orang walau samar-samar. Mereka dikarunia tiga anak dalam keadaan sehat tidak difabel sebagaimana Ardi dan istrinya.
Malioboro Bagai Panggung Seni untuk Ardi
Ardi, tinggal bersama keluarganya tidak jauh dari Plengkung Gading Yogyakarta. Tepatnya di Ngadinegaran. Seputaran Alun-alun Kidul Yogyakarta. Untuk ke Malioboro , setiap hari ada yang mengantar dan menjemputnya jika pulang. Sekitar pukul 16:00 Ardi biasanya sudah berada di depan hotel Mutiara lama. Untuk menembangkan lagu-lagu dangdut. Sampai sekitar pukul 21:30.Â
Sesekali pengemudi bentor atau becak dan pedagang kaki lima bercanda dengan Ardi lewat kata-kata.
Sebelum diatur oleh UPT (Unit Pelaksana Teknis) Malioboro, untuk mangkal di depan hotel Mutiara lama. Ardi biasa ngamen dari toko ke toko di sepanjang Jl. Malioboro. Menurut penuturannya, dari segi pendapatan lebih banyak saat mangkal daripada berjalan menyusuri Malioboro dari Selatan ke Utara dan balok lagi ke Selatan.
"Pendapatannya lebih banyak, walau dengan jam yang sama," jelas Ardi sambil menyebutkan sejumlah angka yang lumayan besar untuk ngamen selama empat jam sehari. Dibandingkan saat masih berjalan dari toko ke toko.Â
Jika mengetahui pendapatan ngamennya selama empat jam sehari  di Malioboro mungkin orang akan ngiri. Tetapi rasa iri tersebut akan cepat berlalu jika ada tawaran menggantikan kebutaan yang dialami Ardi sejak umur dua tahun .
Saya langsung tersadar dan diam dalam sepersekian detik. Mengingat handphone saat ini tidak lagi menggunakan tuts atau tombol timbul. Tetapi sudah serba layar sentuh.
Entah menyadari ketidak pahaman saya atau kebingungan saya. Ardi kemudian mengeluarkan handphonenya sambil menunjukkan bagaimana dia menerima pesan di medsos. Dan untuk sekian kalinya saya terkejut, saat Ardi memperdengarkan salah satu isi medsosnya.Â
Padahal yang saya dengar seperti suara orang yang berbicara sangat cepat. Terdengar seperti suara beberapa bebek atau sekumpulan ayam yang kelaparan.
Saya  pernah menjadi broadcaster, kerap mendekatkan telinga ke arah speaker dan melambatkan kecepatan ucapan seseorang untuk memperoleh kejelasan kata yang diucap. Itupun adakalanya masih sering kesulitan memahami kata yang diucapkan. Bantuan gambar bergerak atau film yang dipercepat gerakannya. Tetap tidak membantu menangkap jelas arti kata yang diucapkan.
Inilah Malioboro selalu memberikan sesuatu yang baru. Bukan hanya tentang produk yang dijual belikan sepanjang toko dan trotoarnya. Tetapi juga budaya serta interaksi dengan sesama mereka yang ada di Malioboro pada waktu itu.
Ardi, difabel yang senang ngamen dengan mangkal di satu tempat. Alasannya karena dapat berinteraksi dengan siapa saja yang berada di Malioboro. Ada percakapan dengan pengemudi becak, penjual sate, pengemudi bentor, wisatawan atau mahasiswa yang harus menyelesaikan tugas wawancara dari dosennya dengan orang yang ada di Malioboro.
Berbeda saat masih jalan dari toko ke toko. Tidak ada interaksi atau obrolan. Kini tidak jarang Ardi diajak ngobrol oleh beberapa orang, seperti mahasiswa dan orang-orang yang biasa mencari rezeki di Malioboro.
Tak terasa lima lagu yang dinyanyikan dengan irama dangdut sudah saya nikmati saat duduk di sebelahnya. Sambil sesekali menggerakkan kaki dan tangan saya seolah rasanya ingin bergoyang saja. Dan mulut ini kadang tidak mau diam berucap, "Serrrr….". Menimpali nyanyian Ardi. Tepuk tangan tidak lupa saya berikan saat Ardi usai menyanyi.
"Ini ada sebungkus sate ayam," sambil saya pegang tangannya. Agar Ardi mudah menerimanya. Ucapan terimakasih langsung keluar dari mulutnya, disertai doa baik untuk saya.
"Amin…" balas saya sambil berlalu dan suatu hari saya masih ingin duduk di dekatnya untuk mendengarkan beberapa lagu dangdut. Sambil berucap keras, "Serrr …". Karena gembira.