Tradisi kenduri masih berlangsung di beberapa desa di Jawa hingga hari ini. Tradisi sebagai perwujudan rasa syukur kepada Sang Esa tetapi juga simbol pengharapan kepada Sang Pemilik Waktu supaya kita semua mendapat berkah atau berkat yang baik.
Memperoleh kesehatan, pekerjaan, rejeki lancar sampai terhindari dari segala macam bentuk marabahaya. Bencana ataupun wabah penyakit seperti Corona Covid-19.
Di tengah rasa khawatir untuk menghindari kerumunan, saya sampai di Desa Dalem Widodomartani Ngemplak Sleman Yogyakarta. Guna memenuhi undangan ngobrol bareng bersama blogger dan wartawan bagaimana menghidupkan pariwisata dalam tatanan kehidupan baru.
Deretan wastafel berjejer rapi lengkap dengan sabunnya. Menyambut kedatangan saya dan wisatawan  Minggu, 23 Agustus di desa wisata yang terkenal dengan sebutan Desa Wisata Blue Lagoon.
"Makanan," jawab sosok perempuan muda yang kurang jelas suaranya karena tertutup masker. Sehingga saya harus sedikit mendekatkan telinga.
Setelah mendapat tempat yang cukup longgar di salah satu gazebo yang tidak jauh dari sungai. Tepat berada di samping tempat yang dinamakan Blue Lagoon, airnya hijau kebiru-biruan. Jernih, manakala tidak ada yang berenang atau turun ke sungai. Dasar sungainya terlihat dengan jelas.
Saya buka besek, wadah yang terbuat dari anyaman bambu saya buka. Isinya nasi gurih, Â sayur hidangan atau terancam atau urap. Kira-kira seperti itulah sayuran dicampur parutan kelapa yang diberi bumbu.
Ada kerupuk udang lengkap dengan thontho. Semacam parutan kelapa yang dibuat bulatan kecil dan digoreng. Lauk ayam, Â buah, nasi gurih dan nasi putih yang berbentuk bulat. Ada pula makanan tradisional yang dibungkus daun pisang. Ah, namanya sudah lupa.