Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia krn tak sedikit yg berat beban hidupnya

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tanya "5-O" Sebelum Beli dan Konsumsi Obat

22 November 2019   22:19 Diperbarui: 24 November 2019   11:36 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pintar mengonsumsi obat itu artinya mengerti manfaat dan efeknya bila memakan atau meminum obat bagi tubuh. Dari membaca label terkait dengan kandungan, indikasi dan cara pakai lewat label atau menurut keterangan dokter yang memeriksa dengan meresepkan sejumlah obat. 

Namun sayangnya masih saja, ada dokter yang belum menghormati hak pasien. Semestinya dokter mendorong pasien mengetahui hak-haknya dengan memberi informasi terkait hasil diagnosa penyakit ke pasien. Termasuk jenis tindakan yang dilakukan dokter kepada pasien. Meliputi juga pemberian obat lewat resep yang ditulisnya.

Salah satu hak pasien sebagaimana tertulis dalam Undang-Undang no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dalam pasal 32 menyebutkan, pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.

Namun kenyataannya masih ada dokter yang tidak menghormati hak pasien, yang berusaha mengerti dan menjadi pintar dalam konsumsi obat. Hal ini saya alami sendiri sekitar satu tahun lalu. Saat memeriksakan anak karena panas dan tenggorokan sakit, saya bertanya dengan sopan terkait obat yang diresepkan.

(sumber:rsandhika.com)
(sumber:rsandhika.com)
"Ini obat apa saja, ya dok ?" tanya saya.

Tetapi jawabannya sungguh mengejutkan, tidak sebagaimana dokter pada umumnya yang sudah memahami dan menghargai hak pasien. Bersedia menjelaskan jenis obat yang ditulis dalam resepnya.

"Ya, pokoknya macem-macem," katanya dengan nada ketus dan tanpa melihat saya. Saat itu mungkin saya mengerutkan dahi, menunjukkan keheranan dengan sikap dokter tersebut.

(sumber:clipart-library.com)
(sumber:clipart-library.com)
Jika beberapa tahun lalu muncul rumor atau isu dokter dalam meresepkan obat kepada pasiennya cenderung irasional karena ada beberapa kepentingan pribadi oknum-oknum dokter. Terkait dengan jumlah penjualan obat obat yang diresepkan.

Semakin sering seorang dokter meresepkan obat dari produsen obat tertentu maka aneka macam fasilitas siap diterima oleh oknum dokter. Dari akomodasi mengikuti seminar nasional internasional, perjalanan wisata sampai mendapat berbagai macam hadiah yang nilainya tidak murah.

Praktik ini sudah bukan jadi rahasia umum. Ada bisik-bisik antara dokter dan detailman. Apakah praktik tersebut masih terjadi ? Entahlah.

Tapi pengalaman mendapat pelayanan kurang menyenangkan dari oknum dokter, membuka pemahaman bahwa belum semua dokter merelakan pasiennya mendapatkan hak sebagaimana mestinya dan menjadikan pasien pintar dalam konsumsi obat.

Ilustrasi obat (sumber: Riana Dewi)
Ilustrasi obat (sumber: Riana Dewi)
Saat di apotik, saya bertanya kepada apoteker yang bertugas. Dari jenis obat sampai fungsinya. Dari penjelasan apoteker tersebut saya jadi mengerti jenis dan fungsi obat yang diresepkan dokter. Sehingga saya memutuskan untuk tidak membeli vitamin yang diresepkan.

Saya juga memutuskan membeli obat pereda rasa sakit hanya setengah atau separuh dari yang diresepkan dokter. Tentunya keputusan itu saya ambil setelah mengetahui penyakit anak saya lewat diagnosa dokter. 

Ditambah informasi yang lengkap dari apoteker terkait jenis dan peruntukan obat yang diberikan ke anak saya. Termasuk manfaat serta fungsi atau kegunaannya. Kapan dan bagaimana meneruskan atau menghentikan mengonsumsi obat jika ada keluhan atau tidak.

Sambil menjelaskan cara pemakaian atau konsumsi obat secara rinci, apakah diminum sebelum atau setelah makan. Apoteker tersebut juga menjelaskan terkait obat pereda rasa sakit. Jika obatnya masih dan tenggorokan sudah tidak sakit. Boleh menghentikan. 

Tapi jika obat habis dan sakit di tenggorokan masih terasa. Saya diminta untuk membeli setengahnya dari obat pereda rasa sakit yang diresepkan dokter. Sambil apoteker tersebut menyerahkan salinan resep ke saya. Tentu disertai senyum dan ucapan, "Semoga lekas sembuh, putranya."

Ilustrasi (sumber:bizjounals.com)
Ilustrasi (sumber:bizjounals.com)
Pengalaman ramah disertai penjelasan yang lengkap terkait bagaimana dan kapan harus meminum obat, saya alami juga saat saya mengambil obat di bagian farmasi sebuah Puskesmas di Sleman Yogyakarta. 

Dokter yang memeriksa saya waktu itu juga sangat menghargai hak pasien serta nampak tidak terburu dalam menjelaskan penyakit saya atau menjawab setiap pertanyaan saya terkait sakit yang saya derita.

Jika dokter dan apoteker di Puskesmas, rumah sakit, klinik atau pusat kesehatan lainnya memiliki satu misi menjalankan profesi sebagaimana tertuang dalam UU no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Maka dapat meminimalkan pihak-pihak yang berusaha mencari mudah dan untung sendiri lewat penderitaan pasien atau orang sakit. Dengan membebani biaya berlebih lewat obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan.

Tidak sedikit masyarakat yang hilang kepercayaan kepada sejumlah dokter atau oknum dokter karena perilaku sebagian dokter sendiri yang kurang terpuji. Sebab tergiur oleh bujuk rayu detailman atau medical representativ.

(sumber:kaskus.com)
(sumber:kaskus.com)
Ketika orang sakit berusaha menyembuhkan dirinya sendiri dengan membeli obat tanpa resep. Saat mereka berusaha memperoleh kesembuhan dengan cara yang mudah dan murah. 

Caranya membeli obat langsung ke apotik dengan menyebutkan jenis obat, menyertakan bungkus atau kemasan obat yang sudah habis. Adalah upaya bentuk pemberontakan secara halus terhadap mahalnya atas biaya kesehatan.

Saat ini informasi terkait indikasi dan efek obat semua dapat diperoleh dengan mudah di internet. Pertanyaannya bagaimana jika orang sakit kurang mengetahui efek atau jangka panjang terhadap penggunaan obat tertentu. Khususnya obat-obat keras yang pembeliannya harus dengan resep dokter.

Apotek-apotek di Yogya sudah melarang pembelian antibiotik jika tanpa resep dokter. Saya pernah melakukan tes kecil-kecilan terhadap beberapa apotek di Yogya dengan sengaja ingin membeli antibiotik tanpa resep. Hasilnya saya tidak diperbolehkan membelinya jika tanpa resep.

Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (foto: koleksi pribadi)
Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (foto: koleksi pribadi)
Hal itu ditegaskan pula oleh ketua Ikatan Apoteker Indonesia Nurul Falah Eddy Pariang saat saya temui di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Sebab jika sembarangan mengonsumsi antibiotik akan menyebabkan resistensi. Kuman atau virus menjadi tahan terhadap segala jenis antibiotik.

Bagaimana dengan tempatmu? Masih adakah apotek yang menjual obat antibiotik secara bebas tanpa resep dokter ?

Tidak ada salahnya cermat dan teliti membaca setiap label obat yang akan kita konsumsi. Sebab pada dasarnya obat itu racun, yang membedakan menjadi obat terletak pada jumlah dosisnya.

(foto:sumber Kemenkes RI)
(foto:sumber Kemenkes RI)
Kantor Kementerian Kesehatan bahkan telah mengkampanyekan tagline "Tanya Five - O", terkait dengan konsumsi obat.

Pertama, obat yang dikonsumsi apa nama dan kandungannya.
Kedua, obat tersebut khasiatnya apa.
Ketiga, obat itu berapa banyak dosisnya.
Keempat, bagaimana cara mengonsumsi obat tersebut ?
Kelima, obat tersebut memiliki efek samping apa.

Semoga dengan bertanya lima hal dasar kita menjadi pintar konsumsi obat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun