Saya juga memutuskan membeli obat pereda rasa sakit hanya setengah atau separuh dari yang diresepkan dokter. Tentunya keputusan itu saya ambil setelah mengetahui penyakit anak saya lewat diagnosa dokter.Â
Ditambah informasi yang lengkap dari apoteker terkait jenis dan peruntukan obat yang diberikan ke anak saya. Termasuk manfaat serta fungsi atau kegunaannya. Kapan dan bagaimana meneruskan atau menghentikan mengonsumsi obat jika ada keluhan atau tidak.
Sambil menjelaskan cara pemakaian atau konsumsi obat secara rinci, apakah diminum sebelum atau setelah makan. Apoteker tersebut juga menjelaskan terkait obat pereda rasa sakit. Jika obatnya masih dan tenggorokan sudah tidak sakit. Boleh menghentikan.Â
Tapi jika obat habis dan sakit di tenggorokan masih terasa. Saya diminta untuk membeli setengahnya dari obat pereda rasa sakit yang diresepkan dokter. Sambil apoteker tersebut menyerahkan salinan resep ke saya. Tentu disertai senyum dan ucapan, "Semoga lekas sembuh, putranya."
Dokter yang memeriksa saya waktu itu juga sangat menghargai hak pasien serta nampak tidak terburu dalam menjelaskan penyakit saya atau menjawab setiap pertanyaan saya terkait sakit yang saya derita.
Jika dokter dan apoteker di Puskesmas, rumah sakit, klinik atau pusat kesehatan lainnya memiliki satu misi menjalankan profesi sebagaimana tertuang dalam UU no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Maka dapat meminimalkan pihak-pihak yang berusaha mencari mudah dan untung sendiri lewat penderitaan pasien atau orang sakit. Dengan membebani biaya berlebih lewat obat-obat yang sebenarnya tidak diperlukan.
Tidak sedikit masyarakat yang hilang kepercayaan kepada sejumlah dokter atau oknum dokter karena perilaku sebagian dokter sendiri yang kurang terpuji. Sebab tergiur oleh bujuk rayu detailman atau medical representativ.