Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia krn tak sedikit yg berat beban hidupnya

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hanya Segitukah Menghias Ibu Kota?

27 Agustus 2019   02:00 Diperbarui: 27 Agustus 2019   02:14 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menata Ibu Kota memerlukan keseriusan karena dari sana orang melihat beranda negara. Kesan pertama mesti baik, indah, unik dan menarik sehingga menimbulkan kesan mendalam supaya tidak  mudah dilupakan. Oleh karena itu menata kota mesti memperhatikan berbagai macam aspek. Bukan alakadarnya, sekedar pasang, nir pesan dan kesan.

Ibu Kota itu menjadi beranda negeri. Tamu-tamu penting dari berbagai negara yang memiliki pengaruh dalam hubungan bilateral dan kekuasaan di negaranya. Datang dan pergi dalam waktu singkat atau lama. Melihat Indonesia melalui Jakarta, bukannya tidak mungkin dianggapnya sudah melihat Indonesia. Kemudian di kepalanya terlintas sejumlah rencana.

Sebuah keputusan  atau kebijakan tidak sedikit terinspirasi oleh peristiwa atau sesuatu yang sederhana. Apalagi jika melihat Jakarta merasakan kesan positif. Bukannya tidak mungkin, kemudian muncul berbagai gagasan pentingnya menggandeng Indonesia untuk bekerjasama yang saling menguntungkan.

Maka cukup mengherankan bila menata kota di salah satu taman di pusat kota dimaknai sebagai aktivitas yang remeh. Hanya.

Kepala Dinas Kehutanan dan Pertamanan DKI Jakarta, Suzi Marsita mengatakan instalasi Gabion bukan karya seni seperti Getih Getah karya Joko Avianto. Menurutnya, instalasi Gabion itu hanya sebagai penghias kota menyambut HUT ke-74 RI kemarin. (Merdeka.com/23/8/2019)

Hanya penghias kota. Hanya segitukah menghias kota? Jakarta Ibu Kota negara sampai saat ini masih Ibu Kota. Belum pindah walau sudah diputuskan pilihan kota baru untuk Ibu Kota Republik Indonesia.

Jika gabion bukan seni, tidak heran muncul pro kontra atas keberadaannya di taman yang terletak di pusat kota. Dari dana cukup besar untuk sebuah hiasan yang bukan seni, sampai mempertanyakan maksud serta tujuan membuat hiasan tersebut. Jika gabion tersebut tidak memiliki nilai seni maka apa bedanya dengan bronjong ?

(foto:tebar)
(foto:tebar)
Jika tumpukan batu yang ditempatkan dalam sebuah keranjang besar terbuat dari sulaman kawat bukan seni. Maka tidak heran jika upaya menghias kota Jakarta tidak terasa ruh estetikanya. Jakarta menjadi miskin akan nilai-nilai keindahan.

Menghias kota hanya sekedar kewajiban dan tugas. Mengesampingkan sentuhan cita rasa seni. Hasilnya, hiasan taman-taman di Ibu Kota terasa kering. Tidak ada "dialog" yang intim antara bangunan atau benda yang berada di taman dengan mereka yang ada di kota.

Jika tumpukan batu itu bukan seni mengapa ditempatkan di tengah kota. Artinya tumpukan batu itu seperti barang lainnya yang sifatnya lebih mementingkan fungsinya.  Tidak harus repot memikirkan unsur harmoni. Bentuk, pesan dan kesan bagi mereka yang melihatnya.

Jika bukan seni maka tumpukan batu dalam kranjang kawat di taman bundaran HI, keberadaannya mestinya fungsional. Seperti menahan longsoran tanah atau tebing di pinggir sungai. Dikenal dengan nama bronjong. Maka kurang tepat meletakkan bronjong di tengah kota. Apalagi tanah taman kota di bunderan HI tidak rawan longsor karena cenderung landai, tidak berbukit. Maka menempatkan bronjong tidak sesuai peruntukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun