Belum genap satu tahun tinggal di Yogya, kala itu.  Mendapat pengalaman baru, yang belum pernah dialami seumur hidup. Pengalaman pertamaku mengalami  dan  merasakan tanah tempat berpijak, yang selama ini terasa padat, diam dan keras ternyata bisa bergerak.
"Apa ini...?", hal pertama yang terlintas di kepala. Walau goyangan tidak terlalu lama dan keras sempat membuat hati cemas dan melihat beberapa benda yang tergantung ikut bergoyang, untuk beberapa saat.
Aku hanya terpaku diam di tempat, sementara beberapa tetangga kamar kos yang belum berangkat ke kampus, yang sudah lama di Yogya langsung lari berhamburan keluar dari kamarnya. Terdengar orang berteriak, "Lindu-lindu." Artinya, "Gempa-gempa."
Setelah itu keadaan sekitar kos-kosan kembali tenang, berjalan seperti biasa, orang kembali dengan aktivitas dan rutinitas kesehariannya karena gempa yang terjadi tidak kencang dan tidak lama. Sebagian orang masih ada yang berkumpul dan membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi, di luar rumah atau bangunan.
Ini menunjukkan bahwa diri ini mungkin termasuk dari bagian orang yang tidak siap siaga bencana sebagaimana disurvei oleh Litbang Kompas. Dimana hampir separuh dari 806 responden yang tinggal di zona bahaya tidak menyadari ancaman bahaya bencana di daerah yang ditinggali.
Pengalaman pertama itu menjadi sesuatu yang berharga bagi saya. Ternyata untuk menjadi warga Yogya mesti selalu siaga bencana. Apalagi setelah peristiwa pertama kali merasakan gempa. Menyadarkan saya untuk harus berbuat apa, saat merasakan tanah bergerak.
Indonesia merupakan wilayah rawan bencana geologi seperti gempa  bumi dan tsunami. Tempat pertemuan empat lempeng. Lempeng Benua Eurasia, lempeng Samudera Indo-Australia, lempeng Samudera Pasifik dan lempeng Filipina. Yogyakarta merupakan daerah terdekat tumbukan lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia.
Pengalaman pertamaku alami gempa di Yogyakarta, walau reaksinya bengong saat itu. Menjadi pengalaman berharga. Setiap ada goyangan yang diperkirakan dari bumi, bukan dari truk besar lewat. Sebab fenomenanya hampir sama. Langsung waspada untuk angkat kaki menjauhi gedung atau bangunan tinggi.
Hingga suatu hari saat duduk di kursi di kamar kost, kebetulan ada beberapa teman yang main ke kos. Â Saya merasakan kursi, yang saya duduki terasa seperti berhoyang sendiri, dengan sigap saya berdiri untuk lari ke luar kamar.
Tetapi yang terjadi kursi itu malah terjatuh karena kehilangan beban berat badan saya sebagai penyangga saat teman menaruh kakinya di kursi sambil rebahan di lantai. "Glodakkk.....," keras bunyinya. Membuat kami kaget tetapi setelah sadar, kami tertawa semua.
Suatu hari beberapa tetangga kamar kos main ke kamar dan ngobrol atau main game sampai larut. Tanpa terasa kami semua merasa capek dan tertidur. Tiba-tiba saya merasakan goyangan yang membuat terbangun disertai bunyi kaca jendela seperti di ketuk-ketuk orang beberapa kali.Â
Spontan saya teriak "Gempa, gempa, gempa.....", sambil membangunkan tamu-tamu di kamar kos saya. Satu tetangga kamar kos sudah bangun dan langsung lari keluar kos - kosan. Tapi masih ada satu tamu kos saya yang belum bangun.Â
Sementara goyangan tanah semakin keras dan menimbulkan bunyi berderik di atas kamar. Saya paksa dia untuk bangun sambil berteriak gempa, gempa, gempa dan menarik kedua tangannya.
Biasanya sambil menunggu suasana aman. Muncul cerita-cerita ketakutan, kecemasan dan tidak sedikit hal-hal lucu, sekaligus menjengkelkan sebagaimana yang saya alami saat gempa baru saja terjadi. Â Saya bercerita ke sesama penghuni kos-kosan bagaimana saya gemas dengan tetangga kamar kos yang satu itu, yang sulit dibangunkan saat terjadi gempa. Sehingga saya harus menyeretnya dengan menarik kedua tangannya agar bangun dan keluar kamar.
Tapi sungguh mengejutkan, dia menjawab dengan enteng seperti merasa tidak bersalah, "Gimana mau lari, tangan dan kakiku di tarik bareng,". Mendengar jawaban itu, meledaklah tawa di suatu malam yang memberi pelajaran tentang penting artinya untuk selalu siaga bencana.
Tidak ada salahnya masa-masa penerimaan mahasiswa baru, kegiatan ospeknya diisi dengan simulasi mitigasi bencana alam. Mahasiswa senior yang aktif di himpunan mahasiswa pencinta alam dapat menjadi mentor untuk mahasiswa yunior.
Jika kegiatan mahasiswa pencinta alam beku di tingkat fakultas atau universitas, kampus dengan usulan mahasiswa dapat minta pihak rektorat atau dekanat mengundang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memberikan pelatihan atau simulasi siaga bencana.
Sebagai agent of change, tidak ada salahnya mahasiswa memiliki inisiatif melakukan kerja sama dengan sekolah asalnya, untuk mendorong almamaternya rutin melakukan simulasi siaga bencana. Sekaligus sebagai ajang promosi untuk menarik adik-adik kelas supaya kuliah di kampusnya.
Atau sebagai kegiatan dalam rangka memotivasi belajar adik-adik kelasnya, agar mereka lolos test dan di terima di perguruan tinggi terkemuka seperti dirinya. Lewat aksi edukatif, simulasi siaga bencana. Sekaligus sebagai aksi tebar pesona. Tujuannya, supaya tidak jomblo. Ehm.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H