Pupusnya kepercayaan diri guru dapat merusak tatanan sosial masyarakat dalam waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Menjadikan siswa sosok yang mudah terombang-ambing, seperti layang-layang  yang putus benang karena kehilangan panutan.
Perilaku kurang terpuji sebagian siswa, yang melecehkan bahkan sampai melakukan tindak kekerasan pada guru atau pegawai sekolah dan viral di media sosial. Menunjukkan kepercayaan diri guru pada tahap mencemaskan.
Praktik pendidikan tidak sebatas mengajar siswa untuk terampil berpikir dengan akal. Sejatinya pendidikan itu menyiapkan siswa untuk trampil menggunakan akal budi untuk menghadapi kehidupan. Dengan berbagai masalah yang harus diselesaikan, tidak cukup dengan akal tetapi perlu juga keterlibatan hati. Â
Melihat sekolah seperti tempat kerja lain yang berorientasi hasil kurang menghargai proses. Terpusat pada kepentingan diri dan upah atau gaji semata.
Menekankan kuantitas lulusan, ukuran kualitas dipersempit pada nilai atau angka semata. Menempatkan keberhasilan jika mampu mengalahkan yang lain. Sekolah menjadi medan persaingan bukan lagi tempat belajar mengenal keutamaan sebagai mahluk yang berakal budi.
Manakala terjadi ketidak puasan dan hukum jadi satu-satunya jalan untuk mengugat proses pendidikan di kelas. Maka sistem pendidikan tidak lagi memiliki kebebasan untuk berekspresi, berkreasi dan inovasi dalam mengembangkan kemampuan siswa. Termasuk menanamkan nilai kesantunan dan rendah hati.
Kepercayaan diri pendidik hilang, cenderung cari aman. Melaksanakan proses belajar mengajar dengan apa adanya. Guru menjadi enggan meningkatkan keualitas diri dengan belajar. Â Maka tidak heran jika siswa tidak lagi respect pada guru. Sehingga muncul perilaku tidak santun dari siswa.
Praktik pendidikan sejatinya berfokus pada percaya diri, kompetensi, profesional dan kedermawanan. Termasuk komitmen, kebebasan dan otoritas. Paulo Freire menegaskan pendidikan itu mengajarkan  proses dialog dan hubungan yang harmonis.