Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia krn tak sedikit yg berat beban hidupnya

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merti Kali Boyong (2): Wayangan di Tengah Sungai

13 Agustus 2017   17:22 Diperbarui: 14 Agustus 2017   06:05 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merti kali cara masyarakat lokal menghargai lingkungan sekitar khususnya sungai. Dengan bersyukur kepada Tuhan sebagai pemilik alam. Sekaligus mengingatkan kepada sesama penghuni bumi untuk saling menjaga lingkungan sungai. Lewat sebuah tradisi yang sarat dengan ritual.

Bukan sekedar arak-arakan keliling kampung, berdoa bersama, makan bersama, dan berkesenian yang dimainkan anak-anak, remaja sampai orang tua. Namun sekaligus event reflektif bagi semua yang digaungkan oleh warga desa Glondong, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Jogjakarta. Awal Agustus lalu di sungai Boyong.

Jika banjir lahar dingin, pohon-pohon di pinggir sungai hanyut diterjang banjir. Tebing sebelah kanan lebarnya hampir sama dengan yang sebelah kiri.(foto: Ko Ini)
Jika banjir lahar dingin, pohon-pohon di pinggir sungai hanyut diterjang banjir. Tebing sebelah kanan lebarnya hampir sama dengan yang sebelah kiri.(foto: Ko Ini)
Tujuannya mengingatkan agar peduli dengan arti penting dan manfaat sungai bagi manusia. Sungai mesti dijaga dan dilestarikan. Memanfaatkan sungai bukan sesuatu yang salah namun harus mengikuti hukum alam bukan hukum kerakusan. Patut menghargai alam yang memberikan tempat  dan berbagai hasil bumi termasuk air bersih.

Sesepuh desa membawa ubo rampe.(foto:Ko In)
Sesepuh desa membawa ubo rampe.(foto:Ko In)
Makanan yang dibagikan peserta Merti kali Boyong (foto:Ko On)
Makanan yang dibagikan peserta Merti kali Boyong (foto:Ko On)
Sungai Boyong sudah berbulan-bulan hanya dialiri air yang sangat sedikit bahkan cenderung kering. Air yang mengalir jernih keluar diantara bebatuan dan kerikil. Mengalir seolah mengikuti irama seruling yang siang itu ikut memeriahkan Merti Kali. Menyadarkan hati bahwa hidup ini terus mengalir seperti air dan mengalun seperti suara seruling.

Suara seruling mengalun diantara bebatuan dan pepohonan sekitar sungai Boyong.(foto:Ko In)
Suara seruling mengalun diantara bebatuan dan pepohonan sekitar sungai Boyong.(foto:Ko In)
Dalang duduk di panggung yang terbuat dari tumpukan kerikil dan batu tepat di tengah sungai Boyong. Mulai memainkan perannya sebagai pengatur lakon pertunjukkan. Siang itu awan seolah bersahabat dengan warga desa Glondong. Memayungi kawasan dusun Glondong, Pakem, Sleman dari teriknya sinar matahari.

Dalang duduk di atas panggung batu di sungai Boyong Jogja
Dalang duduk di atas panggung batu di sungai Boyong Jogja
Musik tradisional seperti karawitan dan modern seperti gitar serta flute berpadu dalan sebuah nada dan irama sehingga menghasilkan bunyi-bunyian yang menarik. Sekaligus simbol perbedaan itu bukan pertentangan tapi saling mengisi.

Alat tradisional gamelan dan gitar modern berkolaborasi di tengah-tengah sungai. (foto: Ko In)
Alat tradisional gamelan dan gitar modern berkolaborasi di tengah-tengah sungai. (foto: Ko In)
Dengan kepiawaiannya dalang memainkan wayang, serta mengarahkan para penari, buto atau raksasa, punokawan untuk memainkan perannya masing-masing. Penari dibawakan anak-anak, simbol dimana sungai Boyong adalah tenpat bermain bagi anak-anak sekitar desa Glondong. Dari jalan-jalan sampai mencari ikan cethul atau sekedar duduk-duduk di batu besar bersama teman-teman melihat gunung Merapi di sebelah Utara desa.

Anak-anak menari di tengah Sungai (foto: Ko In)
Anak-anak menari di tengah Sungai (foto: Ko In)
Dinamika hidup, dinamika kepentingan di Sungai Boyong (foto: Ko In)
Dinamika hidup, dinamika kepentingan di Sungai Boyong (foto: Ko In)
Namun keceriaan dan keasyikan mereka bermain di sungai tidak jarang diganggu oleh ulah sekelompok orang yang merusak tatanan sungai. Dengan berbagai alasan, ada saja yang berusaha mengeksploitasi alam secara berlebihan khususnya sepanjang sungai Boyong. Sehingga muncul gesekan dan pertentangan kepentingan yang dapat merusak kerukunan dan kedamaian warga sekitar desa Glondong

Dalang menyimbolkan pertikaian dengan pertunjukan apik pertarungan pesilat. Dibelakangnya meliak-liuk ular atau naga besar dan panjang. Bentuk kerakusan, akan melahap apa saja yang bisa dilahap. Tidak peduli dengan sekitar.

Perkelahian antar pesilat (foto:Ko In)
Perkelahian antar pesilat (foto:Ko In)
Dalam kepanikan dan panasnya pertikaian yang dibayang-bayangi nafsu rakus akan segala hal. Muncul garuda lambang kesatuan dan persatuan berusaha mengingatkan, menengahi pertikaian yang ada dan berusaha untuk merekatkan kembali hubungan persaudaraan yang diganggu oleh kepentingan-kepentingan sesaat. Kepentingan yang hanya untuk sekelompok orang.

Garuda Pancasila sebagai perekat anak bangsa. (Foto:Ko In)
Garuda Pancasila sebagai perekat anak bangsa. (Foto:Ko In)
Hal itu menyadarkan semua untuk bersatu, berkumpul dan bergabung dalam doa bersama yang dipimpin oleh para pemuka agama dari agama Islam, Budha, Katholik. Dalam kesempatan itu peserta Asian Youth Day ke-7 yang mengikuti proses Merti Kali Boyong. Yang diwakili peserta dari Malaysia mengatakan sangat terkesan dan menyadari bahwa walau berbeda kebudayaan, negara, kepercayaan atau agama. Semuanya tetap satu sebagai umat Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun