Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang suka bermain. Istilah kerennya homo ludens. Dengan bermain seseorang menemukan kegembiraan. Ada gairah sekaligus tantangan untuk menang dalam batas yang aman.
Sebagaimana sejumlah permainan tradisonal anak-anak yang pernah kita mainkan saat masih kecil. Aman karena jika terjadi kecelakaan hanya luka memar atau lecet. Paling parah mungkin terkilir. Dipanggilkan tukang pijit, sembuh.
Sejumlah anak dari beberapa daerah di Jogja, rata-rata masih mengenyam pendidikan dasar , Sabtu (15/7) meramaikan kawasan pedestrian Malioboro dengan memainkan aneka permainan tradisional yang dimotori oleh Dinas Pariwisata Jogjakarta.
Kegiatan tersebut merupakan Parade Bocah Dolanan dalam rangkaian kegiatan Mataram Culture Festival 2017 yang dimulai dari depan kantor Dinas Pariwisata Jogjakarta sampai depan pasar Beringharjo. Berlangsung siang sampai sore. Malamnya ada Mataram Art Performancedi plaza Monumen Serangan Umum 1 Maret Jogja.
Di depan gedung DPRD Jogja sejumlah anak melakukan jenis permainan lain dengan batok kelapa yang sudah dibagi dua sebagai alas untuk berjalan. Kedua batok kelapa dihubungkan dengan tali sabagai alat bantu saat berjalan.
Saat berjalan di lantai yang keras seperti kawasan pedestrian Malioboro, menimbulkan suara "Prok....prok....prok....". Apalagi jika anak-anak berjalan serempak dan berirama. Jadi teringat lagu masa kecil yang berjudul Aku Seorang Kapiten.
Anak-anak suka bermain bukan karena mereka belum memiliki kemampuan berpikir komperehensif dan komplek. Namun  anak-anak menemukan metode belajar dengan caranya sendiri. Cara belajar yang riang dan penuh kegembiraan yaitu dengan bermain.
Bermain di kawasan pedestrian Malioboro oleh sekelompok anak-anak. Seperti sebuah pesan tegas untuk membuang sikap pura-pura, sikap jaim bagi siapa saja yang siang itu ada di Malioboro.
Sinar matahari masih terasa menyengat kulit saat anak-anak mulai memainkan permainan tradisional. Walau beberapa bagian kawasan pedestrian mulai teduh terlindung oleh bayang-bayang gedung pertokoan di sepanjang jalan Malioboro.
Itu semua mengingatkan masa kecil saat masih duduk di sekolah dasar. Sesampai di rumah usai sekolah bergegas ganti baju. Makan, Â setelah itu langsung mencari kawan untuk diajak bermain. Entah bermain bola, kasti, pethak umpet,engkleng atau lompat tali.
Waktu itu, kita tidak pernah takut menjadi hitam dan jelek. Buktinya anda semua laku dan memperoleh pasangan hidup atau tambatan hati. Tanpa harus mengalami jomblopobhia.
Sayangnya aneka dolanan yang dimainkan anak-anak di kawasan pedestrian Malioboro akhir pekan itu. Sekedar menjadi tontonan bagi mereka yang saat itu di Malioboro. Sementara anak-anak memainkannya dengan penuh keceriaan dan kegembiraan. Tidak banyak orang yang ingin terlibat dalam kegembiraan bersama anak-anak.
Peserta Photo Hunt Mataram Culture Festival 2017 sibuk dengan dirinya sendiri mencari angel atau bidikan foto yang menarik. Terlalu mainstream kurang berani untuk keluar dari kebiasaan, out of the  box. Obyeknya riang dan gembira bermain. Tergambar dari raut muka yang penuh senyum. Sementara mereka hanya menjadi penonton dan pengabadi peristiwa.
Hidup harus gembira. Bermain seperti anak-anak bukan berarti bersikap kekanak-kanakan. Sajian permainan tradisional di kawasan pedestrian Malioboro oleh sekelompok anak-anak. Sejatinya ajakan berbagi kegembiraan agar beban atau masalah hidup sedikit berkurang.
Ada rasa gembira bersama anak-anak saat mencoba melompati rangkaian karet gelang. Bahkan sesekali memberikan contoh bagaimana bermain lompat tali yang benar. Bukan seperti melompati parit. Rupa-rupanya anak-anak jaman millenia tidak tahu cara bermain lompat tali.
Demikian pula nampak wajah gembira seorang ibu. Sambil menggendong anaknya bersedia menjadi orang yang pegang tali karet lengkap dengan mahkota daun.
Malioboro terasa seperti halaman rumah di kampung atau di desa.
Yang penting adalah bagaimana lewat permainan anak-anak mampu memahami konsep memaafkan dengan melupakan kesalahan atau kegagalan saat melakukan permainan. Â
Parade Bocah Dolanan, mestinya menjadi sarana pembelajaran bagi siapa saja yang mengaku dirinya dewasa. Belajar bagaimana memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan. Karena permainan esensinya sarana  mendewasakan diri.
Dengan menghormati aturan permainan. Memberi apresiasi pada yang menang dan  menghargai yang kalah.
Namun tidak sedikit orang dewasa yang lupa pada aturan main. Terbuai dalam kesewenangan  saat memperoleh kemenangan.  Saat menempati posisi puncak status sosial. Dan tidak sedikit yang mudah ngambek atau marah manakala kalah dalam permainan hidup.
Karena sebagian dari mereka lupa bagaimana caranya menjalani hidup dengan bersahaja. Apa adanya. Gembira dan selalu ceria dengan hal-hal yang sederhana. Seperti anak-anak yang gembira bermain diantara gelembung-gelembung sabun yang berterbangan kesana kemari. Entah menari atau  berusaha menangkap gelembung-gelembung sabun itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H