Kecantikan alam Indonesia tidak terbantahkan. Cantik yang paradoks, dibalik kecantikannya terkandung bahaya yang tidak mungkin terpisahkan dari pesonanya. Kompas menyebut negeri rentan bencana. Sebutan tidak jauh meleset bagi negeri yang memiliki keindahan alam sekaligus kerap pamer bahaya yang berpotensi menimbulkan bencana bagi siapa saja yang ada didekatnya.
Walau demikian negeri ini seksi,pesonanya dapat dinikmati dari puncak gunung sampai di kedalaman laut. Negeri ini bagai gadis yang gemar bersolek, lehernya beruntai jalur gempa paling aktif di dunia. Jarinya terpasang Cicin Api Pasifik istilah untuk jalur gunung berapi dan garis tumbukan lempeng yang bentangannya cukup luas dan panjang.
Tidak tanggung-tanggung dari pantai barat Amerika Selatan, lanjut ke Amerika Utara, melingkar ke Kanada,Semenanjung Kamtschatka, Jepang. Kemudian melilit Indonesia berlanjut ke Selandia Baru hingga ke kepulauan di Pasifik Selatan.
Ditambah sabuk yang membuat negeri ini makin seksi dengan Alpide Belt atau sabuk Alpide. Sebutan untuk gempa teraktif nomor dua di dunia yang membelit pinggang Indonesia. Kalung, cincin dan sabuk alam tidak jarang membuat repot, memberi duka dan nestapa bagi penduduk negeri ini.
Belum lagi acara “senggol-senggolan” dari tiga lempeng benua seperti lempeng Indo-Australia dari sebelah selatan, lempeng Eurasia dari sebelah utara dan lempeng Pasifik dari timur yang tumbukannya membuat gaduh sehingga mengganggu ketenangan hidup.
Ditambah badai atau siklon tropis yang bertamu atau sekedar melewati Indonesia. Ada Fiona,Siklon Ivy atau badai siklon tropis Fay yang membuat gelombang laut tinggi dan hujan berhari-hari yang mengakibatkan banjir dimana-mana.
Gempa, gunung meletus, banjir atau angin puting beliung seolah setia mencari kelengahan penghuni negeri ini. 27 Mei 2006, Sabtu pagi sekitar pukul 05.45 WIB kami melakukan aktivitas rutin. Istri mencuci piring sambil memasak, anak menyiapkan diri untuk berangkat ke sekolah dan saya usai mandi bersiap mengantar anak ke sekolah.
Lima menit kemudian terdengar suara gemuruh yang keras seperti truk lewat sarat dengan muatan, jaraknya seolah tidak jauh dari tempat kita berdiri. Gemuruhnya menggetarkan dada, dalam hitungan detik kemudian tiba-tiba semuanya bergoyang.
“Keluar…..Keluar……” teriak saya sambil lari mendorong istri dan menarik anak keluar rumah.
Di halaman belakang rumah, tembok di sebelah kanan dan belakang kami berdiri terlihat bergoyang seperti daun terkena angin. Di sebelah kiri, terlihat tower tempat penyimpan air tidak kalah hebatnya bergerak ke kanan dan kiri. Sementara di depan nampak rumah terus bergoyang, genteng dalam waktu bersamaan mlorot(turun pelan-pelan). Melihat ke atas, kabel listrik tidak kalah bergoyang membuat kami takut jika putus.