Manakala menyangkut masa depan seseorang maka keputusan tersebut bukan menyejahterakan atau membantu seseorang namun malah memusnahkan dan menjerumuskan orang dalam jurang kesulitan dan pupusnya kesempatan untuk melakukan hal yang baik.
Namun demikian yang terdidik dan berpendidikan, yang sadar informasi, belum tentu menjadi jaminan untuk mampu b erpikir logis atau tidak melakukan kekerasan terhadap anak atau perempuan. Beberapa kasus menunjukkan guru menjadi pelaku utama tindak kekerasan terhadap anak didiknya. Baik kekerasan fisik atau kekerasan seksual.
Demikian halnya dengan orangtua, ayah atau ibu terkadang bisa berubah menjadi sosok yang mengerikan. Dari orang yang menyayangi dan mencintai berubah menjadi orang yang bengis, gemar menyakiti anak-anaknya.
Salah satu akar masalah persoalan tersebut karena tekanan hidup yang cukup berat , berasal dari masalah ekonomi atau hubungan kurang harmonis antar kedua orangtua. Yang kedua, kurangnya kepedulian termasuk media yang kurang memberikan empati pada korban-korban kekerasan khususnya korban kekerasan seksual.
Sudah saatnya media massa tidak cukup memberitakan kekerasan perempuan dan anak secara straight news tetapi depth news. Sehingga dapat membantu memancing gagasan untuk mencegah tindak kekerasan lebih lanjut.
Selain itu beberapa media massa mestinya mengurangi sikap yang hanya bisnis oriented, mengedepankan banyaknya iklan tetapi miskin memberi penyadaran lewat berita atau tayangan yang kualitatif. Sudah waktunya media televisi lebih banyak menayangkan iklan layanan masyarakat jika perlu memberlakukan nol tarip terhadap iklan-iklan layanan masyarakat. Dan jam atau waktu tayangnya, di jam atau program acara yang memiliki rating penonton cukup tinggi. Serta ditayangkan sesering mungkin dengan variasi iklan layanan masyarakat yang cukup banyak.
Minimnya kepedulian adalah jawaban mengapa kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Realitasnya, peristiwa kekerasan tersebut tidak terjadi di tempat sepi, jauh dari kerumunan orang atau tempat tinggal. Dilakukan bukan oleh orang tidak dikenal namun orang terdekat seperti kekasih, saudara , suami atau orang tua. Dan pelakunya beragama latar belakang pendidikan dan tingkat sosial.
Mengajak seluruh unsur dari keluarga, pemerintah, akademisi, praktisi, media massa dan para blogger tidak salah dalam upaya menekan meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Tetapi hal itu akan menjadi sia-sia jika kurangnya koordinasi dan tidak ada keajegan atau keteraturan dalam mengkampanyekan menolak kekerasan terhapan perempuan dan anak.
Perlu strategi kampanye yang cerdas dalam era kebebasan membagi dan mengunduh informasi.
Anak dan perempuan bukanlah etalase rumah seperti tanaman atau rumput di halaman rumah agar rumah nampak rapi, bersih, indah dan mendapat pujian kagum dari orang yang melihatnya. Sehingga dipasang peringatan “Jangan Injak Aku”, atau “ Hargailah Aku”.
Perempuan dan anak bukan sekedar etalase kehidupan rumah tangga. Mereka adalah mahluk yang ikut memberikan warna kehidupan. Bukan sekedar mempercantik hari atau membuat suasana riang dengan canda atau celoteh mereka.