Doc Internet
Berbicara tentang sistem negara yaitu demokrasi seakan tidak ada habisnya. Demokrasi selalu menjadi perbicangan hangat di kalangan masyarakat. Pemilu sudah dianggap sebagai suatu sistem politik demokrasi bukan hanya di Indonesia tetapi juga diseluruh negara yang mendeklarasikan sistem pemerintahannya secara demokratis. Hal ini disebabkan karena hanya melalui pemilu, seluruh rakyat Indonesia dapat ikut terlibat berpartisipasi dan berkontribusi secara positif dalam menentukan pilihan politiknya terhadap pemerintahan dan negaranya. Kita ketahui juga bahwasnnya pemilu diadakan secara langsung dimulai pada tahun 2004 pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yodhoyo sampai sekarang yang mana pada saat itu masyarakat dilibatkan penuh dalam pemilihan pemimpin negara Indonesia.
Kita menyadari bahwa pemilu yang digembar-gemborkan sebagai sistem politik demokrasi Indonesia masih dianggap gagal dalam memuaskan tingginya ekspektasi atau harapan publik terhadapnya. Praktis pemilu di Indonesia jika kita telaah belum sepenuhnya bisa menjaga dan melindungi integrasi bangsa dari marabahaya perpecahan yang selalu mengintainya.
Lalu bagaimana mungkin bisa sistem politik demokrasi Indonesia berkualitas bila sejak awal “integrasi bangsanya” saja tidak memperoleh jaminan kuat dalam pemilu yang diselenggarakan selama ini?
Pemilu yang dilaksanakan seolah-seolah menjadi suatu hal yang tidak penting dan malah dipermainkan terutama oleh orang-orang elit politik. Akan sulit membangun sistem politik demokrasi Indonesia yang berkualitas kalau pemilunya saja masih diwarnai, dipenuhi, dan didominasi oleh ujaran kebencian, kecurangan politik, berita hoax, lemahnya penegakan hukum, kerusuhan politik, konflik politik, dan lain sebagainya yang tanpa sadar akan merusak citra dari demokrasi itu sendiri. Indeks Demokrasi terbaru yang dirilis oleh divisi riset The Economist menjelaksakan data yang menarik. Disana dijelaskan bahwasa secara umum, di tahun 2017 kualitas demokrasi di dunia mengalami kemunduran.
Dalam skala 0-10, skor rata-rata negara yang masuk dalam Indeks Demokrasi 2017menurun, dari 5,52 pada 2016 menjadi 5,48. Negara-negara yang mengalami penurunan skor terdiri dari 89 negara, tiga kali lebih banyak daripada negara-negara yang mengalami kenaikan skor, yaitu 27. Tim riset dari The Economist menyimpulkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi turunnya kualitas demokrasi dunia yang terjadi pada tahun 2017. Tim riset juga menyatakan bahwasannya, ada dua hal utama yang secara umum menjadikan merosotnya kualitas demokrasi di berbagai negara.
Pertama, kekecewaan masyarakat yang berkaitan dengan implementasi demokrasi di negara merekatinggal. Jika lihat dalam praktiknya, justru demokrasi tidak serta merta membuat apa yang menjadi keinginan masyarakat terpenuhi, misalnya dalam pelayanan publik yang baik, kebebasan dalam berpendapat dan lainnya. Dengan hal-hal tersebutlkah akhirnya menimbulkan kekecewaan pada implementasi demokrasi.
Puncaknya lagi , kekecewaan tersebut dicerminkan dalampelaksanaanpemilihan umum. Walaupun tidak semudah membalikan telapak tangan, Indonesia dengan segala daya dan upayatetapberusaha membangun kualitas sistem politik demokrasinya melalui eksperimentasi pemilu. Tetapi haruslah kita akui, bahwasannya tidak gampang membangun kualitas sistem politik demokrasi Indonesia melalui pemilu.
Dan kita sebagai generasi muda harus bisa menjaga dan memberikan citra baik pada sistem demokrasi Indonesia. Kita sebagai generasi muda harus mampu ikut andil dalam suksesnya pemilu Indonesia, karena untuk mewujudkan sistem politik demokrasi Indonesia yang berkualitas memerlukan dukungan dan bantuan dari semua pihak, baik dari masyarakat, generasi muda, para elit politi dan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H