Karena pada saat itu, perempuan disimbolkan dengan ranah domestik akibat stereotip gender. Hal inilah yang membuat mereka di masa itu harus mengubur mimpinya dan impiannya untuk pada akhirnya menikah dan menjadi ibu rumah tangga.
Pernikahan adalah hal utama bagi perempuan di masa itu untuk mencapai kestabilan ekonomi. Hal ini sempat membuat Jo March sangat menghindari tuntutan untuk menikah, karena ia merasa muak dengan dirinya seakan-akan hanya pantas untuk cinta dan menikah. Karena menurutnya perempuan berhak untuk memiliki pikiran dan hati nurani, sekaligus dengan impian untuk menyalurkan bakatnya dengan tetap memiliki kecantikan dan cinta.
Tentu, tidak ada yang salah dengan menikah dan lantas menjadi ibu rumah tangga. Pekerjaan yang mulia dan memiliki peran besar dalam kehidupan keluarga. Namun, seperti yang Jo katakan, tidak selalu perempuan harus memilih diantaranya kedua. Karena kita juga berhak untuk memiliki cita-cita dan meraih impiannya baik sebelum maupun sesudah menikah.Â
Hal ini selaras dengan tema hari perempuan internasional tahun 2024 ini, yang mengangkat, "Invest in Women: Accelerate Progress". Tema ini bertujuan untuk mengatasi ketidakberdayaan perempuan khususnya dalam bekerja dan bidang ekonomi.Â
Baca Juga:Â Panjang Umur Perjuangan Kartini: Kesetaraan Gender bagi Pekerja Perempuan
Meragukan Mimpi dan Kemampuannya
Kondisi sosial budaya yang harus dihadapi Jo pada saat itu berdampak pada kepercayaan dirinya. Walau ia digambarkan sebagai seseorang yang berani dan berjiwa bebas, namun ia juga sempat meragukan kemampuan dirinya dalam menulis.
Pandangan bahwa perempuan tidak bisa melakukan sebaik laki-laki sempat membuat menurunkan impiannya, namun pada akhirnya ia mampu bangkit dari keterpurukan itu dan kembali memperjuangkan mimpinya untuk menjadi seorang penulis. Tidak hanya Jo, adiknya yaitu Amy juga diperlihatkan pernah mengalami hal serupa, yaitu ragu untuk dapat menjadi pelukis yang handal di masanya.
Beban ganda dari masyarakat inilah yang menjadi persoalan kemudian dan seakan menghambat mereka untuk memiliki cita-cita. Tidak sedikit perempuan yang berakhir untuk membuang mimpinya atau bahkan takut untuk. Bahkan hal ini masih berlangsung hingga saat ini.Â
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Unilever pada tahun 2021, 60 persen perempuan muda Indonesia mengatakan bahwa tuntutan terbesar meraih impian adalah tuntutan dari masyarakat. Ekspektasi masyarakat terhadap perempuan ini membuat berdampak pada bagaimana perempuan membayangkan atau memiliki impian untuk masa depannya.Â
Saatnya Perempuan Punya Impian
Oleh karena itu, sudah saatnya perempuan memiliki impian. Dimulai dengan mimpi yang ingin dicapai dalam beberapa waktu kedepan. Seperti pesan Jo dalam film Little Women, kita sebagai perempuan bisa memiliki keduanya, cita-cita dan cinta. Maka, jangan takut untuk bermimpi dan mewujudkan keinginan tersebut.
Jika Jo di masa tersebut mampu memperjuangkan impiannya, maka tentu kita juga melakukannya. Salah satunya dengan fokus mengembangkan potensi diri dengan mengasah skill yang dimiliki agar memiliki kapasitas yang mumpuni untuk meraih impian. Salah satu caranya dapat kamu lakukan dengan mengakses video-video pembelajaran di situs web kognisi.id. Dengan berbagai pilihan kelas yang dapat menunjang pengembangan dirimu.