Mohon tunggu...
Kognisi.id
Kognisi.id Mohon Tunggu... Administrasi - Learning Platform by Growth Center part of Kompas Gramedia

Providing a convenient, insightful, and collaborative learning experience

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Emotional Agility: Kunci Menjadi Versi Terbaik dari Diri

12 Desember 2023   00:29 Diperbarui: 12 Desember 2023   01:14 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Najwa Khabiza Egaikmal --- Content Writer Intern Growth Center

Memahami emotional agility ---Be the best version of yourself sudah menjadi petuah yang familiar dan mendalam. 

Dalam perjalanannya, kepercayaan diri kita tidak selalu berada dalam puncak terbaik. Ketakutan dalam pikiran dan perasaan ragu akan kemampuan diri seringkali membelenggu kita. Namun, apakah pikiran dan perasaan ragu tersebut menjadi tanda bahwa kita tidak mampu melakukan sesuatu?

Kabar baiknya, tidak. Emosi yang tercipta dari rasa takut juga dirasakan oleh sebagian banyak orang. 

Seperti apa pemaparan Susan David, seorang penulis buku Emotional Agility: Get Unstuck, Embrace Change, and Thrive in Work and Life tentang belenggu pikiran yang paling umum yang dimiliki manusia.

Salah satu dari belenggu tersebut adalah thought blaming, di mana manusia seringkali berpikir "Bisa tidak ya sampai ke titik itu? Sepertinya tidak." atau yang lebih spesifik "Saya memang tidak bakat belajar" tepat setelah gagal lulus tes. Dan yang lebih sering membatasi pertumbuhan diri kita adalah, "Saya malu, jadi lebih baik tidak usah dilakukan"

Konsep emotional agility adalah kemampuan manusia membangun relasi yang baik terhadap pikiran dan perasaannya melalui pengelolaan emosi. Lebih jelasnya, kita mengenali dan mengakui bahwa dinamika emosi dari pikiran dan perasaan itu normal karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Akan tetapi, mempercayainya atau tidak adalah sebuah pilihan.

Tantangan Menjadi Versi Terbaik dari Diri: Ketidakpastian

Tantangan ketidakpastian akan masa depan mengundang perasaan takut dan menciptakan emosi negatif yang membuat kita tidak nyaman. Utamanya saat ingin mencapai hal-hal yang kita inginkan.

Fakta seperti "Penerimaan di tempat kerja X hanya 2% dari semua pendaftar" membuat kita pesimis dan ragu akan diri sendiri. Atau, "AI di masa depan akan menggantikan banyak pekerjaan di dunia."

Semua ketidakpastian ini terkadang menghambat pertumbuhan diri. Sebab, otak manusia secara berkala menilai apa yang aman dan tidak aman dalam kehidupan kita. Dalam konteks ini, otak selalu berusaha yang terbaik untuk menjaga diri kita dari ancaman. Apapun yang tidak bisa kita prediksi, akan dianggap sebagai bahaya. Ketidakpastian adalah salah satunya.

Dengan demikian, apakah emosi negatif yang muncul dari fakta yang kita lihat dari diri sendiri--dan yang lebih luas dalam lingkungan, keluarga, dan negara--atau dari dinamika ketidakpastian harus diabaikan? Jelas sekali, tidak. Mengabaikan pikiran dan emosi yang kita rasakan hanya akan memperkuatnya. 

Di sinilah peran emotional agility bermain. Di saat emosi dan pikiran apapun muncul, emotional agility adalah tentang kemampuan untuk memilih apakah emosi tersebut perlu untuk kita aplikasikan ke dalam tindakan kita. 

Misalnya, saat merasa pesimis dan hilang semangat karena fakta bahwa penerimaan di tempat kerja impian kita hanya 2%, mana yang kita lakukan? Tidak jadi mendaftar, atau meng-upgrade diri agar mampu bersaing? 

Kemampuan kita untuk membangun relasi baik dengan perasaan dan pikiran, sangat menentukan keberhasilan kita dalam melewati tantangan dalam upaya menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

"Jika ketidakpastian tidak dapat Anda terima, hal itu akan berubah menjadi ketakutan. Jika kreativitas dapat diterima, hal ini akan meningkatkan semangat, kewaspadaan, dan kreativitas." ---Eckhart Tolle

Baca juga: Semua Tergantung Mindset, Ini Cara Keluar dari Zona Nyaman! 

Menjemput Peluang dengan Emotional Agility

Kita sudah mengetahui bahwa emotional agility bisa membantu kita dalam proses menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Ada beberapa hal yang bisa kita terapkan untuk membentuk emotional agility dalam diri kita, berupa:

Show  Up 

Show up adalah proses penerimaan emosi dengan melihat pattern dari kebiasaan yang kita lakukan saat merasakannya. Misalnya, apa yang kita lakukan saat mendapatkan berita kalau usaha kita belum berhasil? Apakah kita cenderung membenci diri, cenderung marah pada keadaan, atau menerima hasil yang ada?

Sebaliknya, kita juga melihat pattern dari emosi yang muncul. Jika tiba-tiba kita merasakan emosi negatif saat melihat teman berhasil dengan mudah mencapai apa yang kita inginkan, kenali alasannya. Apakah itu karena perasaan rendah diri? atau karena kita memiliki sentimen tersendiri kepadanya?

Salah satu langkah penting untuk emotionally agile adalah dengan mengakui perasaan kita--meskipun itu yang terburuk--dan mengenali alasan dibaliknya. 

Baca Juga: Jangan Lupakan Individual Wellness Saat Bekerja

Step Up 

What I feel isn't same with what I do adalah analogi paling mudah untuk menjelaskan langkah step up. Step up adalah tentang memisahkan perasaan kita dengan tindakan yang kita lakukan. 

Setelah melihat pattern perasaan dan kebiasaan kita di bagian show up, kita menentukan tindakan apa yang kita lakukan. Biasanya, orang yang secara emosional tidak agile (emotional rigidity) akan mengambil tindakan sesuai dengan perasaannya. 

Misalnya, perasaan "Saya tersinggung dengan kritik dari X" akan mengundang tindakan mendiamkan X untuk waktu yang lama. 

Memang, rasa tersinggung itu adalah hal yang valid dan harus kita terima. Akan tetapi, menerima perasaan bukan berarti mengimplementasikannya ke dalam sebuah tindakan.

Bertindak mendiamkan X adalah tanda kita tidak memberi jarak antara perasaan dan tindakan. 

Biasanya, emotional rigidity berasal dari kepercayaan kita dengan pikiran alam bawah sadar yang berulang-ulang, "Saya memang tidak kompeten" atau "Dikritik berarti tidak bagus." "Teman seharusnya selalu mendukung."

Berikan label spesifik pada setiap perasaanmu, dan berikan jarak dengan tindakan. Kita hanya bisa mengendalikan perasaan yang bisa kita beri nama dan kita mengerti.

Walk Your Why 

Walk your why adalah tahapan dalam memutuskan tindakan. Sederhananya, kita memilih tindakan tidak semata-mata karena emosi sesaat namun berdasarkan value yang kita pegang. Karena pada dasarnya, value hidup adalah sesuatu yang ideal.

Dalam hal ini, kita perlu terlebih dahulu memiliki value hidup. Mau menjadi individu yang seperti apa? What do we care about? Termasuk daripadanya adalah menetapkan boundaries. 

Jika menggunakan studi kasus sebelumnya yang tersinggung mendapatkan kritik, value hidup dapat digambarkan seperti misalnya "Melakukan yang terbaik untuk pertumbuhan diri." dan "Melakukan komunikasi asertif untuk membicarakan saran atau ketersinggungan"

Boundaries yang kita tetapkan adalah, sampai di titik apa kita toleran terhadap kritik? Di titik mana itu berubah menjadi sebuah penghinaan menurut kita?

Kemudian kita mencocokan dengan keadaan saat ini. Apakah kritik tersebut ternyata memang kritik yang membangun? Jika ya, lakukan perbaikan untuk mewujudkan pertumbuhan diri. 

Bertindaklah sesuai dengan value hidupmu dan apa yang kamu anggap penting untuk jangka panjang.

Move On

Tujuan dari emotional agility adalah menjadi orang yang siap dengan berbagai ketidakpastian dan mampu mengendalikan emosi dan perasaan yang muncul. Move on adalah tahap memberanikan diri meng-handle apapun. Selalu bergerak, bertumbuh, 

Move on adalah tahap untuk melakukan tindakan selanjutnya. Saat kita berkata kepada diri kita dengan penuh semangat, "Ayo coba lagi." atau "Pasti bisa." dan berbagai pergerakan menuju masa depan.

---

Mencapai versi terbaik dari diri sendiri adalah perjalanan panjang yang penuh lika-liku. Untuk itu, ketangkasan emosi sangat kita perlukan. Agar kita tahu harus melakukan apa saat merasakan emosi yang muncul secara tiba-tiba, mengelola adalah tindakan paling tepat daripada mengabaikan.

Untuk memaksimalkan emotional agility, kamu juga bisa mengambil kelas Emotional Agility bersama dengan Psikolog dan HR & Communications Professional, Elsa Christine. Kelas ini akan mengupas tuntas tentang emotional agility secara lebih mendalam. Sudah siap menjadi versi terbaik dari dirimu? 

Choose courage over comfort.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun