Belakangan ini, hustle culture menjadi istilah yang sering digunakan di berbagai kalangan, mulai dari kalangan pekerja hingga pelajar. Hustle culture adalah budaya banting tulang yang membuat seseorang bekerja secara terus-menerus dengan waktu istirahat yang relatif singkat. Budaya inilah yang biasanya mengubah seseorang menjadi workaholic.
Menurut Badan Pusat Statistik, hingga Februari 2021, sebanyak 24.9% pekerja Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas bekerja selama total 35-44 jam per minggu. Sementara itu, menurut Pasal 77 Ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, jam kerja maksimal bagi para pekerja atau buruh adalah sebanyak 40 jam per minggu. Artinya, masih banyak pekerja Indonesia yang jam kerjanya melebihi batas.
Dilansir dari Oxford Learner Dictionary, fenomena hustle culture pertama kali muncul sekitar tahun 1970-an. Ketika itu, perkembangan industri semakin melaju dengan cepat. Hal ini membuat para pekerja dituntut secara agresif untuk menyelesaikan pekerjaan mereka dengan cepat dan tepat.
Hustle culture seolah menciptakan ilusi bahwa bekerja mati-matian tanpa istirahat yang cukup adalah satu-satunya cara menuju kesuksesan.
Kenali ciri-ciri hustle culture
Pada dasarnya, produktivitas adalah hal baik yang harus dipertahankan. Seseorang harus memiliki produktivitas untuk dapat menghasilkan sesuatu atau menyelesaikan pekerjaan. Namun, apabila produktivitas seseorang terlampau tinggi melebihi batas normal, bahkan sampai mengurangi waktu istirahat yang dibutuhkan, terjadilah hustle culture.
Terkadang, seseorang tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi workaholic. Jadi, sebenarnya perilaku seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai hustle culture?
- Overworking
Salah satu ciri utama bahwa seseorang sudah menjadi workaholic adalah jam kerjanya yang terlalu panjang dengan waktu istirahat yang minim. Seseorang yang memiliki kebiasaan hustle culture menghabiskan hari-harinya untuk berfokus pada pekerjaan dan career goals yang ingin dicapai. Akibatnya, timbul emosi-emosi negatif seperti khawatir, merasa bersalah ketika berhenti bekerja, dan rasa selalu takut tertinggal karena membandingkan diri dengan orang lain. - Jam tidur yang berantakan
Seseorang yang sudah 'termakan' dengan gaya hidup hustle culture cenderung memiliki jam tidur yang tidak teratur. Hal ini karena waktu yang seharusnya ia pakai untuk beristirahat dipakai untuk melanjutkan pekerjaan.
Kebiasaan gila bekerja membuat waktu seseorang untuk bersenang-senang menjadi berkurang. Hal ini juga menjadi faktor utama yang mendorong kacaunya jam tidur seseorang. Ketika jadwal tidur itu tiba, alih-alih beristirahat, ia malah menggunakannya untuk bermain gadget, menonton televisi, atau melakukan hobi lainnya yang tidak bisa dilakukan di waktunya yang terpakai untuk bekerja. - Menetapkan goals yang tidak realistis
Menetapkan harapan dan cita-cita merupakan suatu hal yang penting dalam sebuah perjalanan berkarier. Namun, memiliki goals yang terlalu tinggi dan sulit digapai juga bukan merupakan hal yang baik.
Seseorang yang secara sadar ataupun tidak menerapkan budaya hustle culture biasanya membuat dirinya sendiri tertekan karena menetapkan target yang tidak realistis. Penetapan goals yang tidak realistis ini juga sering kali juga diikuti dengan perasaan tidak puas dengan hasil pekerjaan atau jenjang karier yang sudah didapatkan.
Bahaya hustle culture yang "mematikan"
Budaya gila kerja tentu saja memiliki dampak negatif bagi kesehatan fisik dan mental seseorang. Pada 2018, Current Cardiology Reports melakukan penelitian terhadap pekerja-pekerja yang berasal dari Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan risiko penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular---seperti serangan jantung dan penyakit jantung koroner---pada individu yang bekerja lebih dari 50 jam per minggu.
Dilansir dari Halodoc, peningkatan risiko penyakit tersebut disebabkan oleh peningkatan tekanan darah dan detak jantung karena aktivasi psikologis yang berlebihan dan stres. Tak hanya itu, hal ini juga dapat mengganggu metabolisme glukosa di dalam tubuh yang dapat mengarah ke penyakit diabetes. Sangat menyeramkan, bukan?
Hustle culture juga memiliki pengaruh buruk bagi kesehatan mental seseorang. Ketika tubuh seseorang dipaksa untuk bekerja secara terus-menerus, tentunya ia akan mengalami stres, dan tubuhnya akan melepaskan hormon kortisol dalam jumlah yang tinggi untuk periode yang lebih lama. Akibatnya, timbul berbagai masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, hingga pikiran untuk bunuh diri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dari tahun 1980-2015 di Jepang, sebanyak pekerja laki-laki kerah putih dengan rentang usia 25-64 tahun memiliki tingkat kematian lebih besar yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskular, kanker, jantung iskemik, dan bunuh diri daripada pekerja kerah biru (Dhungel et al. 2021).
Tidak hanya berpengaruh pada kesehatan mental dan fisik, rupanya hustle culture juga berdampak pada kreativitas seseorang. Seorang psikolog dari Fakultas Kedokteran University of Washington yang bernama Dr. Jeanne Hoffman mengatakan bahwa jam kerja yang terlalu panjang akan menumpulkan kreativitas. Bekerja terus-menerus juga menyita waktu dan membuat seseorang cenderung tidak bahagia, dan hal ini juga dapat mengurangi tingkat kreativitas dan energi positif yang dimilikinya.
Mengatasi hustle culture
Apabila terus-menerus dibiarkan, hustle culture dapat membahayakan kehidupan seseorang. Oleh karena itu, seseorang yang sudah merasa terjebak dalam budaya gila kerja tersebut sebaiknya berusaha untuk menyeimbangkan waktu bekerja dan istirahat. Berikut beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi hustle culture.
- Sadar atas kondisi tubuh
Seseorang harus memiliki kesadaran atas apa yang terjadi pada tubuhnya. Apabila dirasa sudah terlalu lama bekerja dan tubuh mulai memberikan reaksi, segeralah berhenti dan beristirahat. Jauhi ponsel dan perangkat elektronik lainnya, makan dan tidur yang cukup, serta lakukan aktivitas yang menyenangkan. - Membuat goals yang realistis
Harapan, cita-cita, serta tujuan yang terlalu tinggi akan membuat seseorang bekerja tanpa henti. Oleh karena itu, tetapkanlah tujuan yang realistis. Namun, hal ini bukan berarti bermalas-malasan, melainkan menentukan target sebaik mungkin dengan cara kerja senyaman mungkin. - Membuat jadwal bekerja yang teratur
Pekerjaan yang menumpuk dapat menjadi penyebab terjebaknya seseorang dalam budaya hustle culture. Oleh karena itu, susunlah jadwal perencanaan yang baik dan teratur agar semua tugas dapat diselesaikan secara tepat waktu. Membuat to-do list juga dapat dilakukan untuk melatih time management skill serta mengingat dan menentukan prioritas pekerjaan, sehingga semua tugas terorganisir dan terselesaikan dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H