Mohon tunggu...
Afif Arifin
Afif Arifin Mohon Tunggu... Guru - Kuli kata

Semua kata yang saya gunakan ada di kamus. Saya hanya bertugas menyusunnya dengan baik -- Somerset Maugham

Selanjutnya

Tutup

Financial

Stabilitas Keuangan dan Estafet Kesejahteraan

3 Agustus 2019   22:15 Diperbarui: 3 Agustus 2019   22:36 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berapa pun nominalnya, apapun mata uangnya uang selalu mengikuti dua pola: pola datang (where the money comes) dan pola keluar (how the money out). Pola tersebut bekerja secara mekanis dan seharusnya bisa diutak atik untuk kemudian menuju ke titik keseimbangan. Maka, kondisi keuangan seseorang bergantung dari seberapa dalam ia mengenal pola keuangannya. Dari kedua pola itu pula bisa ditebak apakah keuangan sedang surplus atau defisit. Dalam peribahasa, apakah "besar pasak daripada tiang." Dengan mengetahui polanya kita juga bisa mengantisipasi  kemungkinan-kemungkinan "bencana keuangan" (financial disaster).

Berbicara tentang menjaga stabilitas sistem keuangan maka kita berbicara komitmen jangka panjang lintas generasi. Hal ini sejalan dengan salah satu fokus pemerintah dalam hal keuangan, yakni peningkatan literasi keuangan dan perlindungan konsumen (Kominfo, 2019). Dengan demikian, usaha menjaga stabilitas keuangan berarti mendelegasikan estafet kesejahteraan terhadap generasi berikutnya melalui literasi finansial.

Kita tidak boleh menjadi generasi egois yang sejahtera saat ini tanpa memikirkan bagaimana neraca keuangan anak cucu di masa mendatang. Ada generasi berikutnya setelah milenial, yakni Gen Z dan seterusnya. Terlebih, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan tentang rendahnya tingkat melek finansial masyarakat Indonesia yang masih di kisaran angka 29,7 persen.

Peristiwa krisis keuangan global (subprime mortgage) tahun 2007 di Amerika Serikat yang merembet ke penjuru dunia menjadi bukti bahwa kesinambungan pengetahuan memiliki nilai penting agar tidak ada rantai generasi yang terputus dalam hal akses pengetahuan finansial. Selain itu, keberhasilan Indonesia pulih dari krisis moneter 1998 dan 2008 menunjukkan bahwa Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan finansial.

Namun, jika keberhasilan tersebut tidak ditularkan hingga ke tingkat mikro dan kehidupan sehari-hari pada generasi selanjutnya maka bukan tidak mungkin siklus rutin bencana keuangan akan selalu terulang. Di sektor keuangan kejadian dan angka risiko sekecil apapun harus diminimalkan jika tidak ingin membesar menjadi bencana keuangan.

Di lain pihak, National Council on Economic Education (NCEE) pun menekan bahwa anak-anak harus melek ekonomi untuk kepentingan tata ekonomi global, baik hari ini maupun masa depan. Berangkat dari kesadaran dan kerangka ekonomi demikian maka peran orangtua seyogyanya adalah melibatkan anak-anak sejak dini dalam praktik pengelolaan keuangan dalam keseharian melalui langkah-langkah konkret dan aplikatif sesuai dengan tingkatan usianya. 

1. Program SimPel

Pemerintah telah membibit anak-anak dan remaja agar mereka bisa mengenal sistem dan pengelolaan keuangan sedini mungkin melalui kunjungan mobil bank ke sekolah-sekolah. Kominfo menyebutkan, program ini melibatkan 322 ribu lebih sekolah dan menghasilkan pembukaan rekening SimPel (Simpanan Pelajar) sebanyak 16,2 juta lebih selama periode 2015-2018. Kegiatan tersebut sejalan dengan perkataan Robert Kiyosaki bahwa pendidikan keuangan juga harus diajarkan di sekolah. Selain sebagai pelengkap dan penyeimbang literasi keuangan di rumah juga sebagai pemutus mata rantai kemiskinan yang ada dalam masyarakat.

Komitmen pemerintah di atas kemudian saya terjemahkan dengan mengajak anak untuk membuka rekening tabungan agar mengenal banking. Dari sana kemudian dia mengenal istilah-istilah perbankan seperti debet, kredit, saldo, nomer rekening dst. Dengan demikian, akan timbul kesadaran bahwa menyimpan uang tidak hanya di celengan dan bertransaksi keuangan tidak hanya di tempat belanja. Bentuk produk keuangan yang bermacam-macam pada akhirnya akan diketahuinya sehingga wawasan keuangannya. Setiap kali memerlukan kegiatan perbankan maka saya dampingi dia sambil menjelaskan hal-hal yang dia tidak mengerti.

2. Jatah uang jajan

Setiap awal bulan saya memberikan sejumlah uang yang saya anggap cukup dalam seminggu ke depan. Kesepakatan dibuat. Uang jajan harus dikelola dengan baik agar cukup memenuhi kebutuhannya dalam satu minggu. Percobaan pertama tidak langsung berhasil. Wajar, karena anak-anak belum tahu sama sekali bagaimana mengelola dan melakukan penganggaran keuangan.

Berikutnya, setelah berhasil dengan durasi waktu satu minggu maka kepercayaan ditambah waktunya. Dari yang asalnya satu minggu menjadi dua minggu. Hingga tahap berikutnya menggunakan sistem bulanan. Meskipun terasa berat, baik dari sisi saya sendiri maupun anak, namun untuk pendidikan keuangan dan menanamkan nilai-nilai kepercayaan cara itu harus berlanjut. Tidak langsung terasa saat ini, memang, tapi akan dirasakan 10-25 tahun ke depan sehingga nanti dia akan memiliki "sikap keuangan" selain sebagai "ahli keuangan" agar tidak menyesal kemudian. 

3. Menentukan skala prioritas

Ketika melihat anak memegang sesuatu dari hasil membeli, saya ajak dialog santai sambil lalu menanamkan nilai skala prioritas dalam membeli barang. Saya contohkan membeli buku pelajaran dan membeli alat bermain sebagai acuan konkrit. Artinya, anak bukan lantas dilarang membeli mainan tapi bagaimana prioritas yang lebih penting yang lebih didahulukan daripada keinginan yang lain. Dengan kata lain, urutan prioritas menjadi nilai yang harus ditanamkan dalam membelanjakan uang.

4. Mencatat pengeluaran

Ini yang penting. Bahkan menjadi sangat penting karena sangat berpengaruh terhadap stabil tidaknya keuangan. Ketika seseorang tidak mengethaui arus keluar masuknya uang maka akan menjadi kendala dalam pengelolaan keuangannya. Kegiatan mencatat ini tidak menjadi kebiasaan karena berbagai alasan, seperti ribet, mudah lupa, tidak sempat dan lain sebagainya. 

Saya tidak mengenalkan anak pada aplikasi smartphone mengenai akuntansi keuangan meskipun banyak aplikasi semacam itu yang bisa digunakan. Saya sendiri menggunakannya. Tetapi untuk anak menggunakan cara manual dan tradisional menggunakan buku kecil. Selain untuk menghindarkannya dari penggunaan smartphone cara tersebut mengajarkannya untuk menulis tangan. Ada saat tersendiri ketika anak harus mengenal dan memegang smartphone.

5. Mengajak berinvestasi

"Don't put your eggs in one basket" (jangan meletakkan telur-telurmu dalam satu keranjang). Adagium tersebut sangat terkenal dalam dunia investasi. Ketika menanamkan uang kita tidak disarankan semua uang kita ditanamkan dalam satu macam instrumen investasi keuangan. Tujuannya menghindari risiko invetasi agar "telur-telur" itu tidak semuanya pecah ketika terjadi kerugian. Bagaimana strateginya? Menyebarkan investasi ke dalam beberapa instrumen. Karena anak belum terlalu mengenal investasi dalam skala rumit maka saya hanya mengajarkan yang sederhana seperti berikut.

5a. Membeli hewan ternak

Pertama kali saya ajak dia ke pasar hewan. Saya minta dia memilih ayam betina dan jantan untuk dipelihara. Hasil dari ternak nanti digunakan untuk keperluan dirinya, baik keperluan sekolah, jajan atau berderma. Dari sepasang ayam tersebut berkembang menjadi ternak kambing. Pemeliharanya adalah tetangga yang bersedia dengan imbalan tertentu. Kepada anak saya katakan bahwa dalam jangka 10-15 tahun ke depan dia harus mampu membeli sapi untuk kepentingan kuliah dan hidup ke depannya. 

Investasi dalam sektor riil seperti di atas mengajarkan bagaimana mengembangkan uang agar tidak tergerus inflasi. Bahkan, satu cerita menarik ketika saya minta untuk menambah jumlah kambingnya dia mengatakan bahwa belum saatnya membeli karena harga sedang tinggi dan berdekatan dengan momen Idul Adha. "Jangan, Yah. Sekarang kambing mahal. Kan mau lebaran Idul Adha." Saya sendiri kaget dari mana datangnya analisa demikian sampai-sampai dia mampu membaca kondisi pasar. 

5b. Mengenalkan fintech (financial technology)

Cara investasi kedua ini cukup dikenalkan saja karena untuk melibatkan di dalamnya anak masih belum terlalu lihai mengelola manajemen risiko. Artinya, dengan mengenal teknologi finansial anak saya ada kesadaran bahwa uang tidak selalu berbentuk fisik. Berinvestasi pun nanti menggunakan kecanggihan teknologi digital. Memang saat ini banyak macam dan model investasi berbasis teknologi yang sudah resmi terdaftar di OJK. Prospek ke depannya juga sangat menggiurkan. Hal ini berdasarkan rilis riset dari Google dan A.T Kearney menunjukkan bahwa arah investasi Indonesia ke depannya menuju dua sektor: fintech dan kesehatan.

6. Membelikan amplop

Penggunaan amplop mirip dengan mencatat transaksi keuangan. Yang membedakan adalah mengalokasikan keuangan sesuai dengan peruntukannya. Setiap amplop diberi label sesuai kebutuhannya. Dia saya sarankan memberi label yang sederhana dan langsung ke barangnya karena anak masih belum mampu berpikir abstrak. Misalnya, amplop uang buku, uang jajan, uang sepatu, uang kaos, dll. Jika pun nanti dia ingin ganti sepatu dan uang dalam amplop kurang maka saya cukup menambahi kekurangannya. 

7. Mengajarkan kebutuhan dan keinginan

Ini yang rumit, terutama bagi yang dewasa. Apalagi bagi wanita. Ketika keinginan membeli suatu barang muncul maka seakan-akan semua pembenaran menjadi logis. Apalagi bila didasari gengsi. Francine Jay dalam bukunya, Seni Hidup Minimalis, mengatakan bahwa barang adalah barang, Anda adalah Anda. Antara keinginan dan kebutuhan berbeda sama sekali. Kebutuhan lebih bersifat mendesak dan harus segera dipenuhi, seperti makan, minum, berpakaian dan lain sebagainya. Sedangkan keinginan bersifat emosional sehingga bisa ditunda, ditekan atau bahkan dihilangkan. Mengajarkan secara konkrit perbedaan keinginan dan kebutuhan adalah dengan cara seperti di atas (poin 3). 

8. Diarahkan ke produk dalam negeri berkualitas baik

Ketika ingin membeli sesuatu sebisa mungkin saya mengajaknya membeli barang buatan Indonesia tapi memilih yang berkualitas bagus. Terkadang saya ajak membeli dua produk sekaligus: impor dan ekspor. Kemudian saya ajak membandingkannya dari segi kualitas. Jika keduanya hampir sama kualitasnya untuk apa membeli barang dari luar negeri. Toh, dari segi fungsi sama. Saya tanamkan secara serius bahwa belilah sesuatu karena fungsi, bukan gengsi. Maka keuangannya akan stabil dan seimbang.

9. Hukum akumulasi

Hukum ini akan terlihat kalau dipantau secara harian. Misalnya, hari ini pukul tujuh pagi kita membeli makanan ringan sekian ribu rupiah. Agak siang sedikit pukul 11 membeli es dan jajan. Begitu seterusnya dalam satu hari. Saat membeli mungkin tidak terasa berat dan hanya dalam nominal kecil. Tapi, pada akhir hari itu akan terlihat jumlah uang selama satu hari yang sudah dibelanjakan. Hukum akumulasi adalah "ilusi keuangan" yang menipu pelakunya. Saat membeli terasa ringan tapi ketika dijumlahkan angkanya besar. Kalau tidak bijak kebiasaan demikian akan mengganggu sistem stabilitas keuangan pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun