Mohon tunggu...
Hartika Arbiyanti
Hartika Arbiyanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

"Mendengarkan warta berita sama saja dengan menghisap sebatang rokok yang segera kita buang jika habis..."\r\n--Milan Kundera, 2000: 142

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Negeri Di Bawah Kabut: Sebuah Film Dokumenter Karya Anak Bangsa Yang Harus Disambut

7 April 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:55 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_173264" align="aligncenter" width="524" caption="Negeri Di Bawah Kabut"][/caption] Setelah diputar di Dubai, Singapura dan Jakarta, film dokumenter “Negeri di Bawah Kabut” akan diputar di 16 kota di Indonesia : Semarang, Solo, Yogyakarta, Purbalingga, Purwokerto, Salatiga, Bandung, Malang, Surabaya, Jember, Denpasar, Padang, Medan, Banda Aceh, Palu dan Makassar. Yogyakarta menempati jadwal pemutaran film tersebut pada tanggal 5 April lalu di Lembaga Indonesia-Perancis yang berlokasi di bilangan Sagan. Film dokumenter ini menceritakan tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Genikan yang berada di lereng Gunung Merbabu dan selalu berkabut. Arifin, bocah berumur 12 tahun, menghadapi kebingungan yang besar setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah dasar. Ia memperoleh NEM tertinggi dalam UASBN di sekolah dasarnya dan mempunyai keinganan yang kuat untuk melanjutkan SMP Negeri. Akan tetapi, kesulitan ekonomi orang tuanya yang berprofesi sebagai petani, membuat Arifin harus memilih untuk mengupayakan SMP Negeri atau memilih untuk disekolahkan di pesantren yang notabene gratis dalam keseluruhan dalam pendidikan. Orang tua Arifin sangat memahami dan mengupayakan agar Arifin dapat disekolahkan di SMP, meskipun dengan kondisi pendapatan tidak tetap dan panen kentang terancam gagal karena iklim yang tidak menentu akibat pemanasan global. Orang tua Arifin berusaha meminjam uang kepada tetangga untuk membeli seragam Arifin, tetapi banyak tetangga yang tidak bisa meminjamkan uangnya karena mereka--yang sama-sama berprofesi sebagai petani--juga membutuhkan uang untuk biaya sehari-hari. Setelah mencari untuk meminjam, akhirnya ada salah satu tetangga, pasangan suami istri yang bernama Muryati (30) dan Sudardi (32), yang bersedia meminjamkan uang senilai Rp200.000,- untuk membeli seragam Arifin. Setelah mengetahui bahwa pendidikan di SMP Negeri hanya gratis dalam biaya SPP, terkecuali seragam sekolah yang diwajibkan dibeli di sekolah, buku-buku, dan biaya yang tidak terduga, akhirnya Arifin memilih melanjutkan pendidikannya di pesantren. Kehidupan masyarakat desa di lereng Gunung Merbabu mempunyai nilai-nilai yang dapat kita ambil. Perlu kita ketahui, masyarakat desa mempunyai tingkat kerja sama yang sangat besar. Itu terlihat dari contoh para tetangga yang membantu mengambil panen secara bersama-sama di ladang Muryati. Berbeda dengan masyarakat kota yang cenderung egois dan individualis. Setelah itu, pada saat Pemilu, masyarakat Desa Genikan beramai-ramai menyatukan satu suara untuk memilih pemimpin yang telah mengobarkan janji-janji yang belum tentu direalisasikan seperti membangun sarana infrastruktur dan menyejahterakan masyarakat di lereng Merbabu. Selain itu, Film dokumenter ini memperlihatkan bagaimana sebuah komunitas diam-diam sedang menghadapi perubahan tanpa mereka mengerti alasannya. Sebagai komunitas petani yang mengandalkan sistem kalender tradisional Jawa dalam membaca musim, mereka dibuat bingung oleh musim yang sedang berubah. Muryati dan Sudardi, berusaha memahami kenapa hujan turun lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Gagal panen dan harga jual yang terlalu murah menjadi ancaman. Film dokumenter “Negeri Di Bawah Kabut” merupakan karya orisinil anak bangsa memenangkan Special Jury Prize untuk Muhr Asia Africa Documentaries pada Dubai Film Festival 2011 awal Desember lalu. Alur cerita yang menarik dan tanpa dimanipulasi, film yang disponsori oleh Goethe Institute Indenesien, Ford Foundation, dan Jakarta Art Council, layak untuk disambut dan disaksikan oleh masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun