Mohon tunggu...
Andika Gunadarma
Andika Gunadarma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Motorcycle builder, Gamer & Graphic Designer | Work at hukumonline.com | lawyer - but not anymore | Lecturer | full-time husband

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ada Apa dengan Harga BBM Indonesia?

12 Juni 2013   14:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:08 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi-lagi isu soal kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang marak diberitakan oleh hampir semua media. Inti dari wacana kenaikan BBM tersebut adalah untuk mengurangi subsidi BBM tersebut yang rencananya akan digunakan untuk membeli beras miskin.

Kalau ini sampai terjadi sekarang, maka ini adalah salah satu kebijakan terbodoh dalam sejarah yang pernah dibuat oleh pemerintah Indonesia, dan apabila kita membiarkan ini terjadi, maka percayalah bahwa ini akan terjadi lagi seperti penyakit kambuhan.

Saya sangat mendukung upaya pemerintah dalam memperbaiki perekonomian negara, terutama dalam pemberantasan kemiskinan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah antara lain dengan memperbaiki system pendidikan, kredit micro untuk UKM, peningkatan dan pengawasan koperasi dan yang paling utama adalah pemberantasan korupsi.

Tapi kali ini saya bukan ingin membahas soal pengentasan kemiskinan, melainkan ingin mengajak anda berpikir sejenak tentang minyak di Indonesia (atau kekayaan alam yang lain) yang kita miliki, dan bertanya;

“Mengapa setelah puluhan tahun, sebagai Negara PENGHASIL MINYAK, Indonesia tidak mampu mencari dan mengolah minyaknya sendiri?”

Sama seperti sebelumnya, isu APBN kita yang jebol “sekian triliun rupiah” (sekitar Rp. 50 triliun) tahun ini disebabkan oleh subsidi BBM yang cukup spektakuler yaitu sebesar Rp. 400 triliun. Ini mulai terdengar seperti jargon pemerintah atau lagu jelek yang dinyanyikan berulang kali yang setiap kali didengar akan semakin menakutkan dan semakin sulit untuk dihilangkan dari pikiran. Dan alangkah “sexy”-nya pernyataan “subsidi minyak = kemiskinan” bagi mereka yang memiliki agenda politik, dan menginginkan quick win tanpa memikirkan akibatnya bagi masa depan bangsa.

Karena sesungguhnya tidak ada hubungannya antara minyak, harga minyak, subsidi minyak dan kemiskinan. Justru sebaliknya, sebagai Negara yang menghasilkan minyak, harusnya Indonesia jauh dari kemiskinan.

Anggap saja pernyataan “tekor-nya” APBN dengan semua angka-angka triliunan  tersebut adalah benar, dan adalah tepat secara ekonomi dan bisnis pemerintah harus mencari jalan keluarnya supaya Negara tidak terpuruk secara ekonomi.

Karena ini adalah tentang minyak, maka berarti hal paling pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah mencari cara untuk menekan biaya operasi dan produksi minyak tersebut.

Pertamina adalah perusahaan minyak terbesar Indonesia yang didirikan 56 tahun yang lalu (10 Desember 1957). Semua kontrak explorasi minyak dalam bentuk sebelumnya diatur dan dikontrol oleh Pertamina, baik bagi perusahaan lokal maupun asing. Sampai saat ini, sesuai UUD, pemerintah adalah yang paling berwenang (berkuasa) dalam mengatur segala aspek dalam pemanfaatan sumberdaya alam…dan digunakan “sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat”. Namun alangkah menyedihkannya, sampai hari ini Indonesia masih belum bisa untuk mencari, menambang dan mengolah minyak secara mandiri tanpa bantuan perusahaan minyak asing.

Kemana saja pemerintah (Pertamina) selama 56 tahun ini dalam mengembangkan teknologi perminyakan nasional?

Mengapa tidak ada alih teknologi perminyakan dari perusahaan asing tersebut?

Dan yang paling menakutkan adalah tentang “cost recovery” method yang masih diterapkan sampai hari ini.

Bagi yang awam untuk istilah “cost recovery”, penjelasan singkatnya begini;

Karena pemerintah (Pertamina) tidak memiliki “kemampuan” untuk mencari, menambang dan mengolah minyak sendiri, maka pemerintah membuka kerjasama dengan perusahaan asing. Perusahaan asing tersebut melakukan explorasi dan penambangan minyak, dan semua biaya  (cost) yang dikeluarkan oleh mereka “diganti/dibayar” oleh pemerintah bisa dalam bentuk uang atau bagi hasil (sharing) minyak. Penggantian itulah yang disebut “cost recovery”.

Cost recovery ini rata-rata mencapai 50 – 100 juta dolar pertahun untuk setiap sumur minyak, dan bisa berkali-kali lipat untuk sumur lepas pantai (offshore). Ada puluhan perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia dan ada ratusan sumur minyak, dan ini sudah terjadi selama berpuluh-puluh tahun.

Biaya-biaya cost recovery tersebut termasuk biaya untuk gaji insinyur perminyakan perusahaan asing tersebut yang kebanyakan adalah orang asing juga.

Anda bisa bayangkan berapa ratus triliun rupiah yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk cost recovery ini, padahal mereka beroperasi di tanah Indonesia dan untuk minyak yang dimiliki oleh Indonesia.

[caption id="attachment_259608" align="aligncenter" width="462" caption="cost recovery"]

1371021446171077777
1371021446171077777
[/caption]

Dalam table diatas terlihat jumlah “cost” yang dibutuhkan untuk explorasi dan produksi minyak tersebut. Sekitar lebih dari 10 Milyar Dolar atau 100 triliun rupiah di tahun 2009, dan memiliki trend untuk terus meningkat di tahun-tahun yang akan datang.

Biaya yang tinggi tersebut ditambah parah dengan maraknya praktek korupsi selama berpuluh-puluh tahun, dimana tidak pernah ada hasil audit yang jelas yang bisa menunjukkan berapa jumlah (barrel) minyak yang diproduksi dari sumur ke kilang minyak dan dari kilang minyak ke pemasaran. Dimana jutaan barrel minyak selalu “hilang” dalam perjalanan.

Banyangkan apabila 100 triliun tersebut digunakan untuk membangun infrastuktur pengolahan minyak yang baru seperti kilang minyak dan jalur distribusi BBM. Paling sedikit sekitar 3 kilang minyak baru bisa dibangun dan bisa memproduksi minyak ratusan ribu barrel per-hari untuk kebutuhan domestik.

Dari 7 kilang minyak Pertamina hanya tinggal 6 yang masih beroperasi. Hal ini mengakibatkan tidak tercukupinya BBM untuk kebutuhan di dalam negeri terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan seperti Papua dan kawasan Indonesia timur lainnya, yang akhirnya membuat Indonesia harus meng-import BBM dari luar negeri untuk kebutuhan dalam negeri.

Sangat ironis untuk Negara penghasil minyak.

Jadi menurut saya, adalah sangat keliru untuk mengaitkan subsidi minyak dengan pemberantasan kemiskinan, dimana sebenarnya hal-hal yang berkaitan langsung dengan produksi minyak tersebut malah tidak diperbaiki.

Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam hal perminyakan yang bukan hanya bisa menurunkan ongkos produksi minyak nasional dan mencegah jebolnya APBN tapi bahkan bisa meningkatkan pendapatan Negara dari sektor migas , antara lain:

·      Perketat aturan cost recovery. Jangan “semua” bisa dijadikan “cost” yang bisa di “recovery”;

·Meminta semua perusahaan migas asing untuk alih teknologi dan menggunakan SDM lokal;

·Meminta perusahaan migas asing untuk penjual 70% sahamnya kepada Negara atau perusahaan minyak lokal;

·Perketat pengawasan produksi dan pemasaran minyak dalam negeri;

·Bangun kilang-kilang minyak yang baru dengan teknologi yang baru juga supaya minimal Indonesia tidak perlu lagi meng-impor BBM;

Jadi menurut saya, kebijakan pengurangan subsidi BBM ini hanya sekedar agenda politik yang murahan dan sama-sekali tidak ada hubungannya bagi pemberantasan kemiskinan. Lain halnya apabila pemerintah menghapus subsidi BBM karena kenaikan harga minyak di pasar internasional, karena hanya itulah alasan yang paling masuk akal bagi pemerintah untuk menaikan harga BBM atau menghapus mengurangi subsidi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun